Laporan Wartawan Tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) memutus menolak gugatan Omnibus Law UU Cipta Kerja dalam perkara nomor 54/PUU-XXI/2023 yang dimohonkan oleh 15 kelompok serikat pekerja.
Dalam konklusinya, MK menilai permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
"Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Anwar Usman dalam sidang di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Senin (2/10/2023).
Gugatan ini dimohonkan oleh FKSPN, FSPFK KSPSI, FSPKED KSPSI, FSPLEM SPSI, FSPPEK KSPSI, FSP Pelita Mandiri Kalbar, FSPPP, KBMI, KSPSI, PPMI, SBSI '92, FSP RTMM, dan ASPI.
Dalam pertimbangannya soal dalil pengesahan Perppu 2/2022 menjadi undang-undang dilakukan di luar masa sidang DPR, MK menyatakan ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 merupakan landasan bagi presiden untuk menetapkan Perppu ketika terjadi hal kegentingan yang memaksa.
Perppu kata MK, harus ditindaklanjuti oleh DPR sebagaimana adressat norma Pasal 22 ayat (2) UUD 1945.
Selain itu MK menyatakan bahwa sifat situasi kegentingan yang memaksa, maka penetapan Perppu maupun dalam proses persetujuan di DPR tidak relevan untuk melibatkan partisipasi masyarakat yang bermakna. Sehingga persetujuan DPR dalam kerangka menjalankan fungsi pengawasan sejatinya merupakan representasi dari kehendak rakyat.
"Demikian pula baik dalam penetapan Perppu maupun dalam proses persetujuan di DPR, tidak relevan untuk melibatkan partisipasi masyarakat yang bermakna secara luas karena situasi kegentingan yang memaksa, sehingga persetujuan DPR dalam kerangka menjalankan fungsi pengawasan yang sejatinya merupakan representasi dari kehendak rakyat," ucap Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul.
MK juga mengatakan bahwa berdasarkan Pasal 43 ayat (4) angka 2 UU 12/2011 pada pokoknya menyatakan penetapan Perppu menjadi undang-undang tidak perlu disertai dengan naskah akademik.
Sehingga pembentukan undang-undang yang berasal dari Perppu hanya terdiri dari tahap penyusunan, pembahasan, persetujuan dan pengundangan tanpa tahap perencanaan.
"Berdasarkan kerangka hukum tersebut maka rangkaian tahapan yang harus ditempuh dalam pembentukan undang-undang yang berasal dari Perppu adalah hanya terdiri dari tahap penyusunan, pembahasan, persetujuan dan pengundangan tanpa tahap perencanaan sebagaimana tahapan pada undang-undang biasa," lanjutnya.
Baca juga: Kawal Putusan Uji Formil UU Cipta Kerja di MK, Massa Aksi Buruh Bakar Ban di Bundaran Patung Kuda
Sementara itu soal dalil penetapan Perppu menjadi UU dilakukan DPR di luar masa sidang saat Perppu diajukan, MK berpendapat Perppu punya beberapa perbedaan antara satu dengan lainnya karena pertimbangan kondisi krisis atau situasi genting.
MK kemudian mencontohkan kondisi kegentingan saat pandemi Covid-19 yang bukan hanya membahayakan kesehatan dan keselamatan jiwa, tapi juga bahaya bagi perekonomian nasional. Sehingga diperlukan tindakan luar biasa untuk penanganannya.
Perihal UU 6/2023 yang berasal dari Perppu 2/2022, MK menyebut bahwa Perppu tersebut punya cakupan substansi lebih luas yakni mencakup 78 UU berbagai sektor dan berisi isu hukum dengan tujuan mengatasi konflik peraturan.
Berkenaan dengan itu MK memahami adanya kebutuhan waktu yang diperlukan DPR dalam pembahasan dan pengkajian RUU 6/2023 yang diajukan presiden.
MK juga melihat adanya itikad baik presiden yang mengajukan RUU 6/2023 di penghujung masa sidang II DPR untuk segera mendapat kepastian hukum terhadap Perppu. Sementara tenggat waktu yang disediakan yakni sampai berakhirnya masa sidang III DPR, karena Perppu tersebut harus lebih dulu diajukan oleh presiden ke DPR.
"Sehingga dalam batas penalaran yang wajar Mahkamah dapat menerima rangkaian tahapan proses pembahasan sampai dengan persetujuan yang telah dilakukan DPR sebagaimana fakta hukum secara kronologis,: ungkap Hakim Konstitusi Daniel Yusmic.
Atas hal ini, MK menyatakan dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum.
MK juga menyatakan bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut, UU 6/2023 secara formil tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan tetap memiliki kekuatan hukum mengikat.
"Dengan demikian dalil-dalil permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya," kata Hakim Konstitusi Guntur Hamzah.
Duduk Perkara
Sebelumnya 15 kelompok serikat pekerja menggugat cara pengesahan Perppu 2/2022 menjadi undang-undang dalam rapat paripurna DPR ke-19 pada 21 Maret 2023 dilakukan di luar masa sidang III DPR, yakni tanggal 10 Januari - 16 Februari 2023.
Menurut Pemohon, Perppu 2/2022 sebagai cikal bakal lahirnya UU 6/2023 telah ditetapkan presiden dengan melanggar prinsip ihwal kegentingan memaksa dan putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 terkait meaningful participation.
Selain itu menurut Pemohon model legislasi UU 6/2023 telah mengembalikan proses pembentukan undang-undang yang executive-heavy dan otoriter seperti zaman orde baru.
Baca juga: UU Cipta Kerja Layak Ditolak, Bikin Buruh Jadi Tenaga Outsourcing Seumur Hidup
Berdasarkan alasan tersebut Pemohon dalam petitumnya memohon kepada MK untuk menyatakan UU 6/2023 tidak memenuhi ketentuan pembentukan UU berdasarkan UUD 1945 sehingga tak memiliki kekuatan hukum mengikat, dan menyatakan UU 11/2020 tentang Cipta Kerja berlaku kembali dengan memperhatikan putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020.