Laporan Wartawan Tribunnews, Mario Christian Sumampow
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak lima gugatan buruh dan menyatakan Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker) tetap berlaku.
Langkah MK itu dinilai YLBHI sangat mengkhawatirkan dan menunjukkan pengkhianatan nyata para hakim MK terhadap demokrasi dan konstitusi.
Ketua YLBHI Muhammad Isnur mengatakan putusan MK tersebut sangat memalukan karena mengingkari sendiri putusan sebelumnya yang mengatakan UU Ciptaker inkonstitusional bersyarat.
Dalam pertimbangannya, MK membenarkan alasan kegentingan yang memaksa dalam pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang akhirnya menjadi undang-undang ini.
Pertimbangannya adalah terdapat krisis global yang berpotensi berdampak signifikan terhadap perekonomian Indonesia akibat situasi perang Rusia-Ukrania dan krisis ekonomi akibat adanya Covid-19.
"Padahal dengan adanya UU Cipta Kerja, rakyatlah yang justru ditenggelamkan dalam situasi krisis," ujar Isnur, Rabu (4/10/2023).
Isi putusan tersebut menunjukkan sikap MK yang tidak konsisten dalam menjaga putusannya sendiri, yang tidak sejalan dengan putusan MK sebelumnya.
"MK bermain-main dengan pelanggaran konstitusi dan penghancuran negara hukum. Putusan UU Cipta Kerja tersebut menunjukkan kegagalan MK menjadi benteng terakhir penjaga demokrasi dan konstitusi," ujarnya.
Baca juga: Eks Menkeu Rizal Ramli: Jokowi Tampang Merakyat, Hati Oligarki
"MK kini justru bertransformasi menjadi penjaga kepentingan kekuasaan dan oligarki," tandas Isnur.
Dalam putusan Senin (2/10/2023) kemarin, terlihat komposisi Hakim MK yang menyatakan UU Ciptaker konstitusional ialah orang yang sama dengan perkara sebelumnya pada Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020.
Mereka adalah Anwar Usman, Arif Hidayat, Daniel Yusmic, Manahan MP Sitompul ditambah dengan Hakim Guntur Hamzah. Nama terakhir ini diangkat yang menggantikan hakim Aswanto diganti di tengah jalan.
Baca juga: Mahfud MD: Pemilu Bukan Dari Rakyat, Oleh Oligarki, dan Untuk Elit
Sedangkan empat hakim lainnya memberikan dissenting opinion atau pendapat berbeda. Dalam Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 bersama Aswanto mereka menyatakan UU Ciptaker inkonstitusional. Mereka adalah Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Suhartoyo.