Laporan wartawan Tribunnews, Ibriza Fasti Ifhami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) mengatakan, kasus kekerasan terhadap anak mengalami peningkatan.
Asisten Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak atas Kesehatan dan Pendidikan Kemen PPPA, Amurwani Dwi Lestariningsih, menjelaskan berdasarkan Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja tahun 2021 memperlihatkan bahwa lebih banyak anak perempuan yang mengalami kekerasan dibandingkan anak laki-laki.
"62,31 persen anak perempuan mendapat perlakuan kekerasan dan 28,31 terjadi pada anak laki-laki. Nah, empat dari 10 anak perempuan dan tiga dari 10 anak laki-laki ini berusia 13-17 tahun. Tentu ini yang kita tidak inginkan kalau ini terus menerus terjadi," kata Amurwani, dalam diskusi media bertajuk 'Bersama Cegah Bullying di Sekolah dan Penuhi Hak Anak atas Pendidikan', di Kantor Kemen PPPA, di Jakarta Pusat, Jumat (6/10/2023).
Baca juga: KemenPPPA Catat Pelaporan Kekerasan Anak Mengalami Peningkatan, Kekerasan Seksual Capai 6.316 Kasus
Tak hanya itu, Amurwani juga menjelaskan, berdasarkan Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) mencatat adanya 7.257 kasus kekerasan terhadap anak dengan korban sejumlah 8.161 anak sepanjang Januari-Juni 2023.
Ironisnya, Amurwani mengatakan, kekerasan terhadap anak-anak seringkali terjadi di dunia pendidikan dan dilakukan oleh orang-orang yang ada di sekitaran mereka.
"Guru, kepala sekolah, cleaning service, mereka yang ada di dalam sekolah atau teman-teman dekat mereka," ucap Amurwani.
Baca juga: KPAI: Kasus Kekerasan Anak di Indonesia Paling Banyak di Asia Tenggara
"Ada 34,74 persen itu tindakan kekerasan dilakukan oleh guru. 27,39 persen dilakukan oleh teman dekat mereka, dan ini yang artinya bahwa mereka adalah orang-orang yang terdekat yang melakukan tindakan-tindakan kekerasan itu terhadap anak-anak yang seharusnya mendapat perlindungan," jelasnya.
Terkait data tersebut, Amurwani mengatakan, dampak yang paling merugikan anak-anak tidak hanya pada korban langsung, tetapi juga pada anak-anak yang menyaksikan tindakan-tindakan kekerasan tersebut.
Menurutnya, para anak yang menyaksikan tindakan kekerasan ini juga memiliki trauma.
Lanjutnya, trauma yang dialami anak saksi kekerasan berpotensi mendorong mereka untuk menarik diri secara sosial, bahkan ikut melakukan kekerasan.
"Dan seringkali mereka (anak saksi) berasumsi bahwa perilaku yang diterima secara sosial ini akan mendorong mereka untuk, kalau tidak mereka menarik diri, mereka ikut untuk melakukan. Nah ini yg kita cegah bagaimana mereka tidak ikut melakukan (kekerasan) itu," ucap Amurwani.
"Kadang-kadang, anak yang melihat (kekerasan) itu karena dia juga tidak ingin dilibatkan, dia akan, bila ditemui orang-orang dewasa dia akan menutup diri," sambungnya.
"Jadi korban itu bukan hanya sebagai korban kekerasan (langsung), tapi juga mereka yg menjadi saksi. Saksi langsung itu juga sebagai korban."
Baca juga: Terima Laporan 3.122 kasus Kekerasan Anak, Kemen PPPA Pastikan Penanganan Secara Utuh
Lebih lanjut, Amurwani mengatakan, Kemen PPPA mencatat ada sebanyak 865 anak korban kekerasan di tahun 2023, yang diberi pendampingan.
"Tentu saja kita juga harus memahami apa yang harus dilakukan pada anak untuk mencegah dampak-dampak, baik itu dari korban langsung atau saksi-saksi dari tindakan kekerasan ini," kata Amurwani.
"Oleh karena itu Kemen PPPA pada tahun ini melakukan penanganan kepada korban kekerasan, baik itu kekerasan seksual, fisik, maupun psikologis, maupun verbal, melalui suatu program Muatan Terhadap Anak-anak Penyintas dengan Peningkatan Kapasitas Anak," jelasnya.