TRIBUNNEWS.COM - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mempersilakan pihak-pihak yang tidak terima atas penangkapan eks Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mengajukan gugaran praperadilan ke pengadilan.
SYL sebelumnya ditangkap oleh penyidik KPK di salah satu apartemen yang berada di Jakarta Selatan pada Kamis (12/10/2023).
Penangkapan tersebut dilakukan imbas penetapan SYL sebagai tersangka kasus korupsi di lingkungan Kementerian Pertanian (Kementan).
"Yang tidak terima dengan penangkapan atau penahanan silakan, kami beri ruang dan tempat ajukan praperadilan," kata Juru Bicara KPK Ali Fikri, Jumat (12/10/2023) dikutip dari YouTube TVOneNews.
"Saya kira kami ingin melihat jalur pengusutan kasus ini secara objektif," lanjutnya.
Adapun praperadilan merupakan wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penetapan tersangka, dan lainnya.
Baca juga: NasDem Tak Terima SYL Dijemput Paksa, Jokowi Sebut KPK Punya Alasan: Harus Hormati Proses Hukum
Penangkapan SYL ini menuai sejumlah kontra lantaran KPK seolah terburu-buru.
Langkah KPK ini juga disorot karena didasarkan pada Surat Perintah Penangkapan (Sprinkap) yang ditandatangani Ketua KPK Firli Bahuri dengan keterangan "Selaku Penyidik".
Padahal, berdasarkan Undang-Undang KPK 2019, pimpinan KPK bukan lagi penyidik dan penuntut umum.
Ali mempersilakan penangkapan itu diuji bersama di meja hijau dibanding membuat opini kontra porduktif.
"Kami amati dari semalam ada orang beberapa pihak mencoba untuk membangun opini, dan lucunya mantan aktivis justru kok membelokan beberapa fakta ya. Mungkin saja informasinya tidak utuh," tuturnya.
Alasan KPK Tangkap SYL
SYL ditangkap lantaran adanya kekhawatiran terkait penghilangan barang bukti.
Sebab menurut KPK, sudah ada sejumlah barang bukti yang coba dimusnahkan oleh pihak SYL.
"Kekhawatiran hilangnya barang bukti, kami kan memiliki data dan fakta bahwa beberapa bukti sudah dihancurkan," kata Ali Fikri.
Di sisi lain, KPK juga menyebut Yasin Limpo bisa saja berpotensi melarikan diri.
Hal itu lantaran beberapa waktu lalu SYL sempat disebut-sebut hilang kontak di luar negeri bertepatan kasus ini diusut.
"Ini berdasarkan UU tentunya, misalnya ada dugaan kabur misalnya, karena kemarin dari track record nya jelas ya waktu keluar negeri keadaannya sempat simpang siur, bahkan wakil menteri nggak tahu keberadaanya kan lucu," ujarnya.
Ali menegaskan bahwa penangkapan SYL itu tak menyalahi aturan.
Ia mengklaim bahwa penangkapan itu sudah sesuai dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Dalam KUHAP, dijelaskan Ali bahwa tersangka boleh ditangkap oleh penyidik kapanpun yang dimau.
"Bukan jemput paksa, ini jelas dalam surat perintahnya adalah penangkapan."
"Secara teknis kalau sudah diitetapkan sebagai tersangka langsung dilakukan penangkapan itu boleh-boleh saja, sah-sah saja sepanjang ada surat penangkapannya kemudian diberitahukan kepada yang bersangkutan yang menangkap," tegasnya.
Nasdem Tak Terima
Bendahara Umum Partai NasDem, Ahmad Sahroni mengaku tak terima atas penangkapan itu.
Bahkan Sahroni menyebut akan melaporkan penangkapan SYL oleh KPK ini kepada Ketua Umum NasDem, Surya Paloh.
"Selesai ini saya lapor ke ketua umum bagaimana langkah selanjutnya," kata Sahroni, Kamis (12/10/2023) dikutip dari KompasTV.
Lebih lanjut Sahroni pun mempertanyakan, mengapa KPK harus melakukan penjemputan paksa pada SYL.
Terlebih posisi SYL kini sudah tidak menjabat lagi sebagai Menteri Pertanian Mentan di kabinet Indonesia Maju pimpinan Presiden Jokowi.
Sehingga menurut Sahroni SYL tidak akan mencoba untuk kabur atau mencoba untuk menghilangkan barang bukti.
"Kenapa musti melakukan hal itu kepada seorang yang bukan menteri lagi."
"Mau menghilangkan apa dia? Sudah bukan menteri kok," terangnya.
Namun kondisinya akan berbeda jika SYL masih menjabat sebagai Mentan, maka menurut Sahroni penjemputan paksa tersebut akan sah-sah saja dilakukan.
"Kecuali dia masih status menteri, melalui mekanisme hukum, dijalanin, prosesnya ada, jemput paksa boleh," kata Sahroni.
(Tribunnews.com/Milani Resti)