Laporan Reporter Tribunnews.com, Reza Deni
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Majelis Nasional Sekretariat Kolaborasi Indonesia (SKI) Syaiful Bahari menyebut kebijakan pertanian Indonesia sudah saatnya dikembalikan ke relnya semula.
Tidak tercapainya swasembada beras karena fokus kebijakan lebih banyak ke lahan basah pertanian, dikatakan Syaiful, sementara mayoritas lahan pertanian Indonesia merupakan lahan kering.
“Kita ambil contoh India, tahun 1970-an mereka membangun jaringan irigasi besar-besaran, waduk dan lainnya hingga level tersier. Dan hasilnya dinikmati sekarang,” ujar Syaiful dalam keterangannya, Rabu (25/10/2023).
Dia mengatakan padahal India melakukan revolusi hijau pada pertengahan 1960an dan Indonesia melakukannya pada tahun 1971.
Revolusi hijau adalah intensifikasi benih unggul, pupuk dan mekanisasi untuk meningkatkan produksi.
"Zaman Soeharto berhasil tuh mendongkrak produksi panen,” ujarnya.
Baca juga: Amran Kembali Jadi Menteri Pertanian, Targetkan Impian Swasembada Beras
Syaiful mengatakan penyebab riset pertanian Indonesia tidak mengarah ke pengembangan lahan kering karena berkiblat ke kebijakan lembaga keuangan internasional yang fokusnya ke lahan basah.
Akibatnya, kata Syaiful, varietas yang ditemukan hanyalah khusus untuk lahan tersebut.
"Bayangkan jika kita penguatan risetnya di lahan kering. Pasti petani dan rakyat kita tidak akan ada kendala atas persediaan dan harga beras,” jelasnya.
Wasekjen SKI Solihin Nurodin saat itu mengatakan di berbagai daerah di Indonesia yang merupakan basis pertaniann, banyak petani yang mengeluhkan persoalan pupuk dan kenaikan harga beras yang justru tidak mereka rasakan dampak positifnya.
Bahkan di Tasikmalaya, saat penyelenggaraan Musyawarah Reboan yang merupakan forum interaksi warga dengan para pendukung Anies Baswedan di kecamatan Sodonghilir, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, terungkap banyak petani yang mengeluhkan tidak optimalnya kartu tani.
Hal ini lantaran kartu tersebut tidak otomatis membuat pupuk bersubsidi mudah didapatkan.
Kesulitan mendapatkan pupuk, mahalnya harga pupuk dan masalah status sawah menjadi kendala utama.
“Misalnya begini. Untuk memanfaatkan pupuk bersubsidi, maka petani wajib menggunakan kartu tani. Namun meski memilikinya, jika ia tidak mempunyai sawah maka petani tersebut tidak bisa mendapatkan pupuk bersubsidi,” ujar Solihin. (*)