TRIBUNNEWS.COM - Bentara Budaya menghadirkan pameran seni rupa berjudul “Giling Wesi”, karya seniman Subandi Giyanto yang telah mendalami seni pewayangan sejak masa kecilnya.
Giling Wesi adalah nama sebuah kerajaan yang sering digunakan para pujangga untuk mengingatkan manusia agar tidak takabur karena masih ada Dewa atau Tuhan yang memiliki kekuasaan lebih dari siapapun.
Kisah Kerajaan Giling Wesi ini erat kaitannya dengan lahirnya Pawukon, perhitungan penanggalan Jawa.
Perhitungan ini berdasarkan hari kelahiran seseorang.
Dari perhitungan tersebut dapat diketahui bagaimana watak orang yang bersangkutan.
Selain itu, juga untuk mengetahui hari baik atau sial, sehingga orang yang bersangkutan memiliki pegangan untuk menjauhi mara bahaya yang mengancamnya.
Maka dari itu, dalam pameran ini akan dihadirkan karya-karya Subandi yang melukiskan figur-figur wuku dalam pawukon yang berkaitan erat dengan peristiwa di Kerajaan Giling Wesi.
Di samping itu, pameran ini juga sebagai media refleksi kita sebagai manusia dengan berbagai sifat yang dimilikinya.
Subandi akan melukiskan hal tersebut dengan gaya hasil kreasinya.
Pameran seni rupa “Giling Wesi” akan dibuka pada:
Hari: Jumat, 3 November 2023
Jam: Pukul 19.00 WIB
Tempat: Bentara Budaya Yogyakarta, Jalan Suroto No.2, Kotabaru, Yogyakarta
Dibuka oleh: Dr. G. P. Sindhunata, S. J.
Pameran ini akan dimeriahkan oleh Cokekan Sanggar Langen Mudha Mandra Budaya dengan sinden Agnes Serfozo.
Pameran seni rupa “Giling Wesi” akan berlangsung:
Tanggal: 4 - 9 November 2023
Jam: Pukul 10.00 - 21.00 WIB
Tentang Subandi Giyanto
Subandi adalah seorang perupa yang berakar kuat pada tradisi Jawa, khususnya seni rupa wayang.
Ayahnya adalah seorang pengrajin wayang kulit.
Beliau pun mengajari Subandi untuk menggarap wayang tahap demi tahap.
Sehingga, akhirnya pun Subandi mampu menggarap wayang sendiri bahkan menguasai jenis-jenis ornamen hingga tuntas.
Detail ornamen pada wayang itu sangat sulit, sehingga membutuhkan kesabaran dan ketelitian.
Karena kondisi ekonomi yang masih berkekurangan pada masa itu, sejak kecil pun Subandi sudah terlatih untuk membantu kedua orang tuanya mencari nafkah.
Sembari memenuhi kewajiban sebagai seorang siswa, ia juga memiliki tanggung jawab untuk menjual karya seni wayangnya.
Menjual wayang bukanlah hal yang mudah. Karena tidak semua orang memiliki minat pada karya seni wayang.
Ia harus menjual kepada agen-agen wayang atau pengepul wayang, Mulyo Suharjo di Taman Sari.
Ketika sudah ada yang meminang wayangnya, hal itu tidak berjalan mulus seperti yang dibayangkan karena lebih sering dihutang terlebih dahulu.
Pembayaran tersebut sering kali tidak menentu dan ia harus menunggu lama.
Kepahitan serta kekurangan ini menanamkan cita-cita tertentu dalam hati Subandi.
Ia bertekad untuk mengubah nasib hidupnya, salah satunya dengan menempuh pendidikan.
Kemudian, ia masuk ke SMSR dan mengambil jurusan ukir kayu.
Setelah selesai, ia memilih jalur vocational, selain untuk berhemat ia juga bisa langsung menjadi guru.
Akhirnya di umur 21 tahun ia menjadi guru di SMP 1 Yogyakarta.
Tak berhenti di situ, karena Subandi kembali melanjutkan pendidikanya dengan kuliah di IKIP Yogyakarta jurusan seni rupa.
Ia juga terus nyambi-nyambi, dengan menjadi instruktur batik dan ukir kayu.
Tentu saja, ia juga terus menawarkan wayangnya.
Seringkali sambil berangkat kuliah Subandi membawa wayangnya ke Prapto Sutedjo, seorang juragan wayang di Ngadinegaran. Setelah lulus, ia diterima mengajar di SMKN 5 Yogyakarta.
Dengan mengajar, ia pun mendapat penghasilan tetap sehingga bisa dengan tenang mengerjakan karya seninya.
Wayang telah menjadi bagian dalam hidup Subandi.
Bersama wayang ia menjalani segala lika-liku kehidupannya, bahkan sampai ia menjadi sukses seperti sekarang.
Semuanya berkat karya seni rupa wayang yang telah ia tekuni sejak masa kecilnya.
Selain itu, bagi Subandi wayang itu telah mendorong dia untuk terus menggeluti hidup dengan seni secara kreatif, hingga ia merasakan kepuasan karena penemuan-penemuan barunya.
Maka dari itu, ia tak pernah bosan dengan karya seni rupa wayang karena ia selalu mendapat inspirasi untuk memodifikasi dan memadukan hal-hal kreatif lain untuk menciptakan sebuah karya luar biasa.
Dari kisah hidupnya, Subandi dikenal sebagai perupa yang selalu berusaha untuk nunggak semi dalam mengembangkan seni rupa wayangnya.
Nunggak semi berasal dari kata dasar “tunggak semi yang memiliki makna spirit optimisme yang menegaskan bahwa hal ini telah diyakini dapat membawa kelancaran rezeki tanpa henti.
Kira-kira begitulah nunggak semi Subandi terhadap karya seni rupa wayangnya.
Ia belajar seni rupa wayang dan tekadnya untuk menggeluti seni rupa wayang membawanya pada kemuliaan hidup.
Melalui pameran ini, Subandi akan menyuguhkan lukisan-lukisan wayangnya yang tak lain merupakan tokoh atau sosok yang berkaitan dalam pawukon.
Tentu saja hal ini juga terinspirasi dari kisah Kerajaan Giling Wesi.
Kita sebagai orang yang masih dalam proses belajar, sudah seyogyanya mengetahui tentang warisan budaya ini.
Setidaknya, kita mengetahui asal-usul dari adanya pawukon dan relasinya dengan Kerajaan Giling Wesi.
Cerita tentang pawukon erat kaitannya dengan kerajaan Giling Wesi dalam dunia pewayangan.
Nama “Giling Wesi” pun dipakai karena memiliki makna dan arti tertentu.
Prabu Watugunung dari Kerajaan Giling Wesi mempunyai kekuasaan dan kesaktian luar biasa.
Hal ini pun berkat tekad besarnya untuk menuntut ilmu jaya kawijayan dengan bertapa tanpa henti. Hingga akhirnya Sang Hyang Jagatnatha mengabulkan tujuannya dengan menganugerahi kesaktian yang tak terkalahkan.
Karena kesaktiannya Prabu Watugunung menjadi takabur dan lupa diri, sehingga menjadi sombong dan melawan siapa saja yang berani menentang keinginannya.
Tanpa disadari Prabu Watugunung telah melakukan incest dengan menikahi ibunya sendiri, Dewi Sinta.
Ia dan Dewi Sinta pun memiliki 27 anak laki-laki. Karena dosa besar inilah yang membuat para Dewa menjatuhkan malapetaka pada Kerajaan Gilingwesi berupa wabah dan bencana alam.
Dalam suatu pertemuan dengan suaminya, Dewi Sinta menanyakan sebab kepala Prabu Watugunung cacat.
Karena hal inilah akhirnya Dewi Sinta mengetahui bahwa sang Prabu Watugunung adalah anaknya sendiri.
Hal ini membuatnya merasa malu dan menangis meratapi nasibnya.
Akhirnya dia menemukan cara untuk mengakhiri aib tersebut dengan meminta Prabu Watugunung untuk menikahi Bidadari dari Kayangan.
Dia menyadari bahwa sesakti apapun manusia tidak akan mampu melawan para dewa.
Dan benar saja prabu Watugunung menuruti keinginan istrinya naik ke Suralaya beserta bala tentaranya (termasuk ke-27 anaknya) untuk meminang Bidadari untuk menjadi maru Dewi Sinta.
Akhir cerita, Prabu Watugunung kalah karena tipu muslihat para Dewa yang mengetahui titik kelemahan atau pengapesan Prabu Watugunung, sehingga tubuhnya tercabik-cabik tak berbentuk.
Itulah mengapa pujangga jaman dahulu memakai nama “Gilingwesi” untuk kerajaan Prabu Watugunung.
Hal itu tak lain sebagai peringatan kepada manusia bahwa sesakti atau sepandai apapun janganlah sombong apalagi melawan para dewa.
Manusia yang derajatnya hanyalah sebagai Titah sewantah janganlah melampaui batasnya.
Jika berani melawan dewa, maka sudah pasti dewa tak akan memberi ampun akan menjatuhkan hukuman dengan giling wesi yaitu melindas tubuhnya dengan besi sehingga hancur seperti nasib Prabu Watugunung.
Dewi Sinta yang hanya berkeinginan untuk terbebaskan dari aib itu pun sedih hatinya melihat suami sekaligus anaknya, serta ke-27 anaknya tewas semua.
Kesedihannya menjadi tangis yang memilukan, sampai terjadilah gara-gara yang membingungkan para dewa kahyangan.
Batara Guru memerintahkan Batara Narada turun ke dunia dan memberi pesan kepada Dewi Sinta bahwa ia boleh meminta apa saja, asal tidak minta Prabu Watugunung dihidupkan kembali supaya cepat sirnalah gara-gara yang membuat dunia dan kahyangan tidak tenang.
Dewi Sinta pun meminta agar Prabu Watugunung dan 27 anaknya diperkenankan masuk ke dalam alam dewa dan dilepaskan dari dosa-dosanya.
Dewi Sinta juga memohon agar dirinya sendiri beserta istri kedua Prabu Watugunung, yaitu Dewi Landep, diperkenankan masuk surga bersama mereka semua.
Permintaan Dewi Sinta pun dikabulkan. Dimulai pada hari Ngahad (Minggu), selama 30 hari berturut-turut satu persatu keluarga Prabu Watugunung dari Kerajaan Giling Wesi dinaikkan ke surga.
Paling awal adalah Dewi Sinta, kemudian Dewi Landep, diikuti 27 anaknya mulai dari putra sulung hingga bungsu.
Dan yang terakhir masuk pada hari ke 30 adalah Prabu Watugunung. Demikianlah peristiwa terjadinya wuku.
Cerita Prabu Watugunung dan Kerajaan Giling Wesi memang tak sepopuler epos Mahabarata dan Ramayana.
Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa cerita dari Kerajaan Giling Wesi ini juga menggambarkan cerita kehidupan dengan segala kompleksitasnya.
Dari kisah ini, kita dapat menemukan berbagai karakter yang mirip dengan perilaku manusia, tentang kekuasaan yang memabukkan, atau tentang cinta yang buta.
Semua hal itu diungkapkan dalam narasi asyik, terlebih Kitab Pawukon erat kaitannya dengan perhitungan penanggalan Jawa berdasarkan hari kelahiran seseorang.
Pameran ini akan menjadi sangat menarik jika kita juga bisa menggunakan cerita Giling Wesi sebagai perspektif untuk melihat peta kehidupan manusia zaman sekarang.
Ketika Indonesia tengah memasuki tahun politik jelang pemilu 2024 kita patut berefleksi. Bukankah perilaku manusia itu terkadang menghalalkan segala cara demi meraih kekuasaan?
Hal itu sejatinya mirip dengan perilaku Prabu Watugunung dari Kerajaan Giling Wesi.
Dengan demikian, Bentara Budaya di Yogyakarta mengundang semua #SahabatBentara untuk hadir pada pameran ini.
Khususnya masyarakat umum dan generasi muda yang ingin belajar tentang tradisi Jawa.
Pameran ini bisa menjadi salah satu jalan alternatif untuk mengenal tradisi Jawa melalui jalur penanggalan Jawa dan keyakinan masyarakat adat Jawa tentang Pawukon. (*)