TRIBUNNEWS.COM - Beberapa waktu belakang ini, banyak nama perusahaan Air Minum Dalam Kemasan multinasional yang sedang menjadi perbincangan. Nama perusahaan multinasional tersebut dikecam karena diketahui aktif mendukung rezim apartheid Israel yang hingga saat ini terus melakukan genosida terhadap penduduk sipil Palestina di Jalur Gaza.
Selain dituding turut berkontribusi dalam perang Israel-Palestina, salah satu perusahaan multinasional yang bergerak di bidang produksi minuman air kemasan ini dituding juga menjadi dalang utama sebagai perusak ekosistem lingkungan.
Di Prancis, perusahaan ini dituding sebagai penyebab krisis air yang mengguncang kawasan Auvergne, Prancis Tengah. Masyarakat lokal setempat mengaku marah karena harus terpaksa menghadapi pembatasan penggunaan air untuk kebutuhan usaha dan kebutuhan sehari-hari.
Salah satu pemilik peternakan ikan, Edouard de Féligonde mengatakan, “Sejak perusahaan ini mengambil alih perusahaan air minum dalam kemasan (AMDK) Société des Eaux de Volvic pada 1993 lalu, telah terjadi penyedotan air tanah hingga meningkat empat kali lipat.”
“Akibatnya, bukan kekeringan biasa yang dihadapi warga setempat, tetapi juga kekeringan yang berpengaruh hingga ke sumber daya untuk usaha ini,” tambah Edouard.
Sebelumnya, Edouard merasa bangga memiliki peternakan ikan Saint-Genest L'Enfant yang telah dibangun oleh leluhurnya pada abad ke-17 di jantung kota Auvergne. Namun, kebanggannya itu lambat laun memudar dan berubah menjadi kepahitan.
“Peternakan ikan Saint-Genest L'Enfant adalah peternakan yang tertua di Eropa dan satu-satunya yang telah diakui sebagai monumen bersejarah. Namun, peternakan ini sekarang benar-benar sudah kering,” cerita Edouard.
Menurutnya, aliran sungai ke peternakan ikan yang dulu mengalir begitu lancar, kini nyaris mengering dan kolam-kolam ikan menjadi kosong, kecuali beberapa (kolam) yang telah diisi dengan air stagnan untuk mencegah erosi dasar kolam.
Tak hanya itu, bisnisnya itu makin terpuruk karena perusahaan ini beserta anak perusahaannya, Société des Eaux de Volvic, yang letak sumber penyedotan mata airnya berdekatan dengan peternakannya, telah menyebabkan menyusutnya air tanah.
Tak pelak, krisis air ini mendorong Edouard untuk memulai perjuangannya di ranah hukum untuk melawan perusahaan AMDK dan otoritas publik yang mengeluarkan izin penyedotan air tanah di kawasan tersebut.
Sedangkan dari sisi perusahaan telah membantah bahwa operasi bisnisnya telah mengurangi debit air tanah di kawasan tersebut. Bantahan ini juga didukung oleh dinas terkait yang turut menduga kekeringan tersebut disebabkan oleh perubahan iklim.
Alasan ini pun langsung dibantah dan dimentahkan oleh penggiat lingkungan dan masyarakat setempat yang terkena imbas kekeringan dan berdampak pada aturan pembatasan air.
“Akibat permasalahan yang terjadi, turut berdampak juga pada pembatasan penggunaan air. Hal ini menimbulkan dampak yang lumayan pada bisnis yang saya jalani dan jelas berisiko tinggi,” ujar pengusaha minuman bernama Jeff itu.
Sama dengan pengusaha lainnya yang juga menggunakan jaringan mata air di kawasan tersebut, Jeff terpaksa harus memangkas pasokan penggunaan air sampai dengan 25 persen. Akibatnya, bisnisnya terancam, apalagi Jeff sudah mengurangi penggunaan air lebih dari sepertiga kebutuhannya lima tahun lalu karena alasan lingkungan.
“Saya mengetahui bahwa volume pemompaan air perusahan AMDK ini tidak dikontrol dengan baik, karena mentalitas mereka yang ditanam adalah menguras air tanah untuk melayani konsumen mereka yang ada di belahan lain dunia,” kata Jeff.
Menanggapi permasalahan itu, salah seorang ahli geologi dengan asosiasi perlindungan lingkungan PREVA François-Dominique de Larouzière mengaku meragukan alasan bahwa penurunan debit air disebabkan oleh pemanasan global. Hal sama juga disampaikan oleh Hydrobiolog Christian Amblard yang juga anggota PREVA ini. Pihaknya menekankan adanya konsekuensi ekologis yang mengkhawatirkan.
“Ini merupakan hal yang tidak berlebihan untuk menganggap bahwa ini adalah awal dari berubahnya area ini menjadi gurun,” ujar Amblard dengan nada prihatin.
Mendapat protes dari organisasi lingkungan
Tak hanya yang ada di Perancis, perusahaan yang juga melebarkan sayapnya ke negara Indonesia ini juga dinilai kerap bermasalah karena mendapat protes dari organisasi lingkungan dan warga lokal tempat perusahaan itu berdiri dan mengeksploitasi sumber mata air untuk bisnis AMDKnya.
Pada 2011, perusahaan AMDK yang telah beroperasi selama 4 tahun di Indonesia ini secara mendadak mengumumkan untuk menghentikan seluruh kegiatan produksinya di Kecamatan Padarincang, Kabupaten Serang, Provinsi Banten karena adanya aksi demo anarkis yang dilakukan oleh ribuan orang pada Desember 2010.
Aksi itu membawa sejumlah organisasi lingkungan dan warga lokal yang menuding keberadaan pabrik AMDK yang ada di kawasan tersebut berpotensi mengeringkan cadangan air bawah tanah yang juga digunakan oleh warga.
Tak berhenti disitu saja, warga yang berada di Desa Babakan Pari Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat kerap mengeluh kesulitan untuk mendapatkan air bersih akibat dari berdirinya pabrik AMDK di kawasan itu.
Pada saat kemarau tiba, sebagian sumur milik penduduk mengalami kekeringan. Padahal menurut warga setempat, sebelumnya sumur dengan kedalaman 5 hingga 7 meter tersebut cukup untuk memenuhi kebutuhan air bersih sehari-hari. Tapi, sejak 2000, sumur tersebut harus kembali digali lebih dalam, paling tidak hingga 17 meter untuk mendapatkan pasokan air.
Cerita pilu juga turut dirasakan oleh warga di Polanharjo, Kabupaten Klaten. Sejak perusahaan multinasional ini beroperasi di wilayah kaya mata air tersebut pada 2002, warga banyak yang mengeluhkan kekurangan air bersih.
Sebelumnya, warga di Kecamatan Polanharjo itu mengaku kebutuhan air bersih selalu cukup untuk sehari-hari dan irigasi. Sayangnya, sejak kehadiran perusahaan air itu, warga harus menyewa pompa air untuk memenuhi kebutuhan irigasi. Sedangkan untuk kebutuhan air bersih sehari-hari, warga terpaksa harus membeli air dengan harga yang cukup mahal.