Laporan wartawan Tribunnews, Ibriza Fasti Ifhami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Serikat Buruh mengancam bakal mogok nasional jika permintaan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2024 hingga 15 persen tak dipenuhi pemerintah.
Dewan Pengupahan unsur Pengusaha dan Pemerintah sebelumnya telah mengusulkan penetapan UMP 2024 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun2021 tentang Pengupahan, yang besaran kenaikannya tidak lebih dari 4 persen.
"Mengorganisir mogok nasional bilamana usulan kenaikan 15 persen UMP DKI tidak dikabulkan," kata Presiden Partai Buruh Said Iqbal, dalam konferensi pers secara daring, pada Minggu (19/11/2023).
Said menjelaskan, mogok nasional tersebut dilakukan berdasarkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja Serikat Buruh.
"Dengan demikian mogok nasional hanya istilah berdasarkan UU 21/2000 di tingkat nasional diorganisirnya oleh serikat buruh, federasi, dan konfederasi di tingkat nasional," jelasnya.
Selanjutnya, Said mengatakan, dasar hukum lain soal mogok nasional tersebut, yakni berdasarkan UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Penyampaian Pendapat di Muka Umum.
"Serikat buruh punya wewenang dan fungsi bisa melakukan pemogokan. Bentuknya adalah unjuk rasa. Karena ini nasional, maka namanya mogok nasional, bukan mogok kerja sebagaimana diatur UU 13 tahun 2023," ucap Said Iqbal.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) itu menyampaikan, mogok nasional rencananya bakal dilakukan di antara tanggal 30 November - 13 Desember 2023.
Sebelumnya, Partai Buruh secara tegas menolak kenaikan nilai UMP DKI Jakarta tahun 2024.
"Menolak kenaikan nilai UMP 2024 di seluruh Indonesia termasuk penolakan kenaikan UMP DKI tahun 2024," kata Presiden Partai Buruh, dalam konferensi pers secara daring, pada Minggu (19/11/2023).
Baca juga: Tok! MA Nyatakan Jokowi Dkk Melawan Hukum di Kasus Polusi Udara di Jakarta
Terkait hal itu, Said menjelaskan, pihaknya tidak setuju dengan rumus kenaikan upah minimum yang digunakan pemerintah.
"Pemerintah tetap memakai rumus kenaikan upah minimum sama dengan inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan index tertentu (0,1-0,3)," jelas Said Iqbal.
Adapun kata Said, rumus tersebut justru ditolak unsur buruh karena hanya menaikkan UMP sekitar 3,2 persen hingga 4,4 persen.