News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

UU Informasi dan Transaksi Elektronik

Revisi UU ITE Harus Mampu Perkuat Perlindungan terhadap Setiap Warga Negara

Penulis: Malvyandie Haryadi
Editor: Wahyu Aji
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat saat memberikan sambutan pada peringatan Hari Osteoporosis Nasional (HON) 2023 yang digelar oleh Perkumpulan Warga Tulang Sehat Indonesia (Perwatusi) di Plaza Utara Gelora Bung Karno, Minggu (29/10/2023).

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Perbaikan kebijakan terkait teknologi informasi membutuhkan perhatian yang terpusat pada manusia dan infrastruktur yang mendukungnya dalam rangka mewujudkan perlindungan bagi setiap warga negara.

"Revisi kedua Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) diharapkan mampu memperkuat aspek perlindungan setiap warga negara yang merupakan amanah dari konstitusi kita ," kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat.

Hal itu disampaikannya dalam sambutan tertulisnya pada diskusi daring bertema Undang-Undang ITE Perubahan Kedua: Solusi Atau Ancaman? yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12 (FDD 12), Rabu (6/12/2023).

Kehadiran UU ITE, ujar Lestari, sejatinya sama seperti undang-undang lainnya sebagai bagian dari upaya negara melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, sebagaimana diamanatkan Pembukaan Konstitusi UUD 1945.

Namun, sambungnya, kehadiran sejumlah 'pasal karet' pada UU ITE justru terkesan meniadakan esensi perlindungan sebagaimana ditegaskan UUD 1945.

Akibatnya, polemik penanganan kasus berbasis implementasi UU-ITE justru memantik kritik dari masyarakat akan prinsip keadilan, rasa aman melalui kepastian hukum bagi anak bangsa.

Menurut Rerie, upaya merevisi UU ITE harus memperhatikan bahwa tugas negara adalah menjamin keberlanjutan transaksi informasi dan komunikasi masyarakat dengan tetap mempertimbangkan aspek keamanan, pertahanan dan kedaulatan negara.

Dengan demikian, tegasnya, UU-ITE menjadi bagian dari sistem perlindungan yang utuh, menyematkan nilai kebangsaan dalam dinamika perlindungan tanpa membiarkan manusia sebagai objek teknologi semata.

Sementara Anggota Komisi I DPR RI, Muhammad Farhan berpendapat upaya revisi UU ITE yang kedua ini merupakan revisi yang terbatas.

Sejumlah pihak, diakui Farhan, mengusulkan penghapusan 'pasal karet', tetapi pemerintah dan DPR hanya mengubah substansi dari pasal-pasal tersebut.

Sebagai contoh, tambah dia, Pasal 27 pada UU ITE yang mengatur distribusi, produksi informasi dan dokumen di ruang digital, yang dikhususkan untuk konten yang melanggar susila, perjudian, pencemaran nama baik dan ancaman.

Jadi, ujar Farhan, interpretasi penyidik dan penuntut dalam memaknai pasal-pasal pada UU ITE harus terus disempurnakan.

Masih dalam diskusi yang sama, Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik, Kementerian Komunikasi dan Informatika RI, Usman Kansong berpendapat pertandingan di era informasi ini adalah antara internet yang aman dan kebebasan berpendapat yang terus berlanjut.

Menurut Usman, di dunia ini setidaknya ada pola kebijakan kebebasan berbicara yaitu pola Eropa yang menerapkan kebebasan berpendapat yang tidak absolut dan pola penerapan kebebasan absolut yang diterapkan di Amerika Serikat.

Usman menilai, dalam penerapan kebijakan serupa Indonesia lebih menerapkan kebijakan kebebasan berbicara yang tidak absolut seperti di Eropa.

Baca juga: KontraS Kritik Revisi UU ITE Jilid 2: Mendadak hingga Masih Ada Pasal Karet

Menurut Usman, perubahan kedua UU ITE ini untuk memastikan hak dan kebebasan berpendapat dengan mempertimbangkan hak dan kebebasan orang lain demi mewujudkan ruang digital yang bersih, sehat, beretika, produktif dan berkeadilan demi kepastian hukum.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini