Laporan wartawan Tribunnews.com, Fahdi Fahlevi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menilai Industri Hasil Tembakau (IHT) memiliki serapan tenaga kerja yang besar dan memiliki dampak ganda yang luas.
Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau, dan Bahan Penyegar Kemenperin, Edy Sutopo, meminta pasal-pasal tembakau di Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan, tidak mengabaikan berbagai aspek tersebut.
“Kita perlu melihat bahwa IHT menyerap banyak sekali tenaga kerja, mulai dari petani tembakau, cengkeh, pekerja buruh pabrik, buruh tani, pekerja distribusi, ritel, dan lainnya,” ungkap Edy melalui keterangan tertulis, Kamis (7/12/2023).
Berdasarkan data Kemenperin, total tenaga kerja yang diserap oleh sektor IHT sebanyak 5,98 juta orang.
Selain itu, dari sisi penerimaan negara, IHT juga berkontribusi dalam bentuk Cukai Hasil Tembakau sebanyak Rp218 triliun pada tahun 2022.
Jumlah ini hanya cukai, belum termasuk penerimaan negara dari pajak seperti PPh badan maupun tenaga kerja di industri ini.
“Kalau kecenderungan (dari) kebijakan ini (RPP Kesehatan) untuk memperketat, ini bukan tidak mungkin dampak positifnya akan berkurang atau hilang. Dampak negatifnya justu akan bertambah. Hal ini akan mempengaruhi bagaimana pekerja dan penghidupan dari jutaan orang yang menggantungkan hidupnya dari IHT,” jelas Edy.
Sebenarnya, kata Edy, kebijakan yang ada berdasarkan peraturan sebelumnya, yaitu PP 109/2012, serta dari kebijakan tarif Cukai Hasil tembakau (CHT), dalam konteks pengendalian, dinilai sudah cukup berhasil dan baik untuk terus dijalankan.
Di kesempatan yang sama, Ketua Umum DPP Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Roy Nicholas Mandey, menegaskan harapan pelaku usaha adalah iklim yang kondusif dalam berbisnis, terutama adanya kemudahan berusaha dan kepastian hukum.
Hadirnya pasal-pasal tembakau di RPP Kesehatan ini dirasa berkebalikan dengan harapan tersebut.
Baca juga: Soal Pembahasan RPP Kesehatan, Diminta Hati-hati Buat Kebijakan
“Hampir 10 persen dari pendapatan negara pada tahun 2022 adalah dari hasil industri tembakau. Kontribusi devisa negara hampir Rp200 triliun. Ini perlu diperhatikan. Kalau ada pengaturan harus diantisipasi bukan dengan larangan tapi pengendaliannya,” tegasnya.