Laporan Reporter Tribunnews.com, Reza Deni
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kampanye muslim Uighur di Indonesia yang dilakukan Direktur Eksekutif Center for Uyghur Studies (CUS) Abdulhakim Idris dengan menggandeng sejumlah entitas disebut menimbulkan kekhawatiran terhadap kondusivitas umat Islam di Indonesia.
Hal tersebut sebagaimana disampaikan Aktivis Forum Umat Islam Progresif, Rusdianto Samawa.
“Kita mempelajari, melihat, meneliti dari segala macam informasi bahwa kegiatan saudara Abdulhakim Idris dalam diskusi-diskusinya di Indonesia percikan pemikiran yang provokatif terkait Uighur dan perjuangan Palestina terhadap Israel,” kata Rusdianto dalam keterangannya, Senin (24/12/2023)
Menurut dia, Abdulhakim seakan menuding umat Islam Indonesia tidak peduli dengan perjuangan Uighur di bawah tekanan Pemerintah Cina.
Sebaliknya, lanjut Rusdianto, Abdulhakim menilai dukungan Indonesia terhadap Palestina begitu berlebihan.
“Menurut Center for Uyghur Studies ini gajah di depan mata tidak terlihat, sementara semut di seberang lautan terlihat. Ini komparasi antara Uighur dan Palestina,” jelasnya.
Dengan demikian, Rusdianto menduga aktivitas Abdulhakim Idris ini bagian dari operasi intelijen Mossad Israel di negara-negara mayoritas penduduk muslim.
Masih kata Rusdianto, soft operation intelligence itu masuk melalui berbagai lembaga kajian dan seminar yang bertujuan mempengaruhi opini publik.
“Ini diduga ya, semoga itu tidak benar. Tapi kita lihat bahwa opini saudara Abdulhakim Idris seakan mengadu antara Indonesia dengan Pemerintah China soal Uighur. Eksistensi dukungan Indonesia kepada kemerdekaan Palestina juga akan berkurang. Ini yang bisa mempengaruhi opini publik,” ungkap dia.
Maka dari itu, dia meminta Polri untuk mengawasi aktivitas itu demi terciptanya kondisi yang kondusif.
“Kami sudah menyampaikan info ini ke Mabes Polri dan pihak sana pun menerima dengan baik laporan yang saya sampaikan. Tapi ini sifatnya bukan laporan pidana. Ini hanya sebatas pemberian informasi untuk ditindaklanjuti oleh Polri, Kemlu, BIN dan sebagainya,” beber Rusdianto.
“Laporannya kami ke Intelkam atau ke Kapolri langsung melalui Setum (Sekretariat Umum), bukan ke SPKT (Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu) karena ini bukan pidana. Laporan ini hanya antisipasi dugaan aktivitas intelijen di Indonesia,” pungkasnya.
Sekilas tentang Sosok Abdulhakim Idris
Dilansir dari laman resmi Uyghur Study, Abdulhakim Idris adalah Direktur Pusat Studi Uyghur, sebuah wadah pemikir yang berbasis di Washington DC.
Dia juga seorang penulis buku “Ancaman: Kolonisasi Tiongkok terhadap Dunia Islam & Genosida Uyghur (Dalam Bahasa Inggris)” dan “Kizil Kiyamet” (Dalam Bahasa Turki.)
Idris lahir di kota selatan Hotan di Turkistan Timur pada tahun 1968.
Dia menempuh pendidikan studi Islam dan bahasa Arab di sekolah-sekolah Islam (Madrasa) di Hotan sebelum meninggalkan kampung halamannya pada tahun 1986 untuk belajar di Universitas Al-Azhar Mesir.
Setelah belajar di Kairo, Idris menetap di Munich, Jerman, pada tahun 1990 sebagai salah satu orang Uighur pertama yang mencari suaka di Eropa. Dia belajar Manajemen Industri di Deutsche Angestellten-Akademie (DAA) di Munich.