Laporan Wartawan Tribunnews, Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Analis intelijen, pertahanan dan keamanan, Ngasiman Djoyonegoro memperingatkan kepada pemerintah untuk mewaspadai gelombang pengungsian yang mengatasnamakan pengungsi Rohingya sehingga menjadi masalah yang semakin besar dan lebih serius dikemudian hari.
"Belakangan ini arus pengungsi yang mengatasnamakan Rohingnya semakin deras. Mereka diduga sengaja ke Indonesia sebagai negara tujuan. Bukan negara transit. Dugaan kuat mereka adalah berasal dari Camp Cox Bazar, lokasi pengungsian terbesar di Bangladesh," katanya kepada media di Jakarta, Jum'at (29/12/2023).
Baca juga: Ternyata Ini Penyebab Polairud Tidak Bisa Halau Pengungsi Rohingya, Simak Penjelasan Kapolda Aceh
Pria yang akrab disapa Simon itu menegaskan bahwa keresahan dan protes rakyat Aceh terhadap perilaku para pengungsi ini seharusnya lebih didengarkan sebagai prioritas. Warga Aceh, kata Simon telah dirugikan dengan berbagai tindakan kriminal yang dilakukan oleh para pengungsi.
“Gelombang pengungsian ini bukan alamiah, tetapi ada upaya penyelundupan para pengungsi ke Indonesia ,” tegas Simon.
Simon menjelaskan bahwa para pengungsi ini diduga berasal dari Camp Cox Bazar, Camp pengungsian di Bangladesh yang telah penuh sesak dan banyak persoalan sosial, kesehatan, dan kriminalitas yang tinggi sehingga mereka berbondong-bondong ke Indonesia.
“Ada indikasi bahwa para pengungsi sengaja merusak kapal mereka mendekati pantai Aceh dengan memanfaatkan celah aturan pada Perpres 125 Tahun 2016, yaitu bahwa aparat wajib menolong kapal pengungsi jika dalam situasi darurat," terangnya.
"Ada jaringan sindikat di balik pengungsian ini. Saat ini pihak kepolisian telah menangani lima kasus,” jelas Rektor Institut Sains dan Teknologi al-Kamal itu.
Simon mencontohkan temuan Polres Aceh Timur dimana dari 50 pengungsi yang masuk laki-laki semua, 28 pengungsi berkewarganegaraan Bangladesh, 3 berpaspor Bangladesh.
Baca juga: Mahfud MD: Pengungsi Rohingya yang Sempat Diusir Kini Ditempatkan Sementara di PMI Aceh
Persoalannya, tambah Simon Indonesia bukan negara yang meratifikasi Konvensi Pengungsian 1951. Artinya tidak ada kewajiban bagi Indonesia untuk menampung para pengungsi Rohingya.
“Indonesia sadar sejak awal bahwa negara kepulauan dengan pintu masuk yang sangat terbuka, rawan terjadi penyelundupan manusia yang dapat mengganggu ketertiban sosial. Maka dari itu, Indonesia tidak meratifikasi,” kata Simon.
“Kita harus bersimpati kepada Warga Aceh yang baru pulih dari berbagai ujian (bencana Tsunami dan GAM) tiba-tiba datang pengungsi yang bikin rusuh di wilayahnya,” kata Simon.
Bagaimana menangani situasi ini? Simon menyarankan bahwa agar pemerintah Indonesia mendesak UNHCR bertanggungjawab atas situasi ini sebagai persoalan internasional. Jangan sampai hubungan Indonesia dengan negara-negara yang terlibat, seperti Myanmar dan Bangladesh menjadi tidak baik.
Simon juga menyarankan peran Dirjen Keimigrasian untuk lebih proaktif dalam menyelesaikan persoalan ini. Beban Pemerintah Daerah sudah cukup berat saat menangani perilaku para pengungsi dengan warga lokal.
“Intervensi Dirjen Keimigrasian saya kira akan bisa menurunkan tensi di Aceh terkait persoalan pengungsi Rohingya ini. Karena, Dirjen Keimigrasian merupakan garda depan dalam deteksi dini terhadap ancaman dari warga negara asing yang berupaya masuk ke Indonesia” kata Simon.
Persoalan pengungsi Rohingya merupakan persoalan bersama yang harus menjadi perhatian semua pihak, baik masyarakat maupun pemerintahan, termasuk aparatur pertahanan, keamanan dan intelijen. Karena kalau tidak segera ditangani, masalah ini akan semakin membesar dan berpotensi menjadi ancaman nasional.
“Kita harus selalu waspada terhadap bahaya dan ancaman yang mengintai negara kita ini, jangan sampai kita kecolongan pada saat situasi sudah sulit untuk ditangani, apalagi saat ini seluruh aparat keamanan berkonsentrasi pada pengamanan Nataru dan suksesnya pesta demokrasi Pemilu 2024,” pungkasnya.