Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI telah melakukan serangkaian proses pemantauan menyangkut keberadaan pengungsi luar negeri etnis Rohingya di Provinsi Aceh sejak November hingga Desember 2023.
Proses pemantauan tersebut menitikberatkan pada aspek penanganan pengungsi.
Selain itu, juga pada dinamika sosial yang muncul berupa aksi penolakan dari sejumlah masyarakat terhadap pengungsi Rohingya.
Proses pemantauan terhadap penanganan pengungsi tersebut dilakukan Komnas HAM RI sesuai mandat Pasal 76 jo Pasal 89 ayat (3) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Koordinator Sub Komisi Penegakan HAM Uli Parulian Sihombing mengatakan berdasarkan temuan di lapangan, Komnas HAM merekomendasikan setidaknya 11 poin.
Pertama, kata dia, dengan alasan kemanusiaan, pemerintah bersama United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) dan IOM tetap perlu mengedepankan penanganan pengungsi luar negeri etnis Rohingya sesuai ketentuan Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 Tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri.
Aturan tersebut, kata Uli, menjadi landasan normatif dan koordinatif bagi Pemerintah dalam mengambil langkah-langkah dan kebijakan penanganan pengungsi luar negeri.
Kedua, kata dia, pemerintah perlu memastikan tersedianya lokasi penampungan tersentral terhadap pengungsi Rohingya yang saat ini ada di Aceh.
Kriteria penampungan tersebut, kata dia, antara lain tidak terlalu dekat permukiman masyarakat, terjangkau aksesibilitas terkait penyediaan kebutuhan dasar, serta jaminan faktor keamanan.
"Terutama memastikan pemerintah daerah melalui Kementerian Dalam Negeri agar sejalan dengan kebijakan pemerintah pusat dalam hal penanganan pengungsi dimaksud sesuai dengan ketentuan Perpres Nomor 125 Tahun 2016," kata Uli ketika dikonfirmasi pada Kamis (28/12/2023).
Ketiga, kata dia, pemerintah dapat memberikan bantuan terhadap penanganan pengungsi Rohingya yang bersumber dari APBN.
Hal tersebut, kata dia, dapat dilakukan dengan mempertimbangkan kesanggupan pemerintah dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan serta mempertimbangkan kepentingan masyarakat lokal.
Keempat, kata dia, memastikan Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menjamin keamanan terhadap pengungsi Rohingya terutama dalam rangka memberikan perlindungan.
Baca juga: Ternyata Ini Penyebab Polairud Tidak Bisa Halau Pengungsi Rohingya, Simak Penjelasan Kapolda Aceh
Selain itu juga untuk mencegah terjadinya benturan dengan masyarakat serta mencegah upaya melarikan diri atau praktik penyelundupan lebih lanjut terhadap pengungsi sesuai ketentuan Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri dan fungsi Kamtibmas Polri.
Kelima, kata dia, memberikan arahan kepada Polri agar memperkuat penegakan hukum dan bekerjasama dengan otoritas keamanan di ASEAN serta Interpol untuk memberantas sindikat dan memutus mata rantai penyelundupan manusia terutama terhadap pengungsi Rohingya.
Keenam, memastikan Kementerian Hukum dan HAM melaksanakan fungsi keimigrasian dalam penanganan pengungsi secara maksimal sesuai mandat dan kewenangan yang telah diatur dalam ketentuan Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 Tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri.
Ketujuh, mendorong pemerintah daerah dan aparat keamanan untuk pro aktif memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa pemerintah akan bertanggung jawab terhadap penanganan pengungsi serta menjamin keamanan dan ketertiban di tengah masyarakat.
Kedelapan, mendorong Kementerian Luar Negeri agar mengambil langkah-langkah diplomasi dan intervensi secara lebih maksimal terutama melalui forum-forum bilateral, regional, maupun multilateral terkhusus forum-forum PBB dalam rangka penuntasan konflik di Myanmar.
"Terutama terkait pengakuan kewarganegaraan dan pemulihan status nasional terhadap etnis Rohingya," kata dia.
Kesembilan, mendorong Kementerian Luar Negeri mengambil langkah-langkah diplomatis melalui Komisariat Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR).
Langkah yang dimaksud yakni dalam rangka memastikan negara-negara pihak Konvensi Pengungsi 1951 agar berperan aktif mengambil tanggung jawab dan komitmen secara lebih untuk menerima dan menampung pengungsi internasional terutama etnis Rohingya.
Kesepuluh, memastikan tersedianya opsi-opsi terbaik selama proses penampungan pengungsi Rohingya di Indonesia.
Hal tersebut, kata dia, mengingat opsi mengembalikan ke negara asal bagi Pengungsi Rohingya tidak dapat dilakukan jika para pengungsi tersebut berpotensi berada dalam ancaman persekusi, penyiksaan, perlakuan dan hukuman yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat kemanusiaan.
"Hal ini sesuai dengan prinsip non-refoulement yang tercantum dalam Konvensi Anti Penyiksaan yang sudah diratifikasi Indonesia," kata dia.
Kesebelas, melakukan upaya-upaya pencegahan melalui Kementerian Dalam Negeri dan institusi Polri.
Hal tersebut perlu dilakukan guna menghindari keterlibatan (pemanfaatan) Warga Negera Indonesia (terutama warga lokal di Aceh) sebagai perpanjangan tangan jaringan penyelundupan manusia maupun jaringan perdagangan orang.
Pada 27 sampai 28 Desember 2023, kata dia, Komnas HAM melakukan pemantauan atas pelaksanaan rekomendasi tersebut di Banda Aceh.
Hal tersebut dilakukan dengan tinjauan lapangan ke kamp pengungsi Rohingya di Gedung Balee Meuseuraya Aceh (BMA) Banda Aceh untuk memastikan kondisi pengungsi pada Kamis (28/12/2023).
Komnas HAM menyesalkan terjadinya insiden pengusiran pengungsi Rohingya di Gedung BMA Banda Aceh oleh mahasiswa pada Rabu (27/12/2023).
Komnas HAM meminta agar pemerintah dan pihak terkait lainnya memastikan perlindungan terhadap pengungsi Rohingya dari kekerasan, serta tempat pengungsian yang aman dan layak.
Baca juga: Mahfud MD: Pengungsi Rohingya yang Sempat Diusir Kini Ditempatkan Sementara di PMI Aceh
"Komnas HAM juga mengapresiasi upaya Kepolisian dalam penegakan hukum terhadap adanya dugaan perdagangan manusia dan penyelundupan manusia pengungsi Rohinya di Aceh," kata dia.