Laporan Reporter Tribunnews.com, Reza Deni
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Eks Juru Bicara Presiden Joko Widodo (Jokowi), Fadjroel Rachman, yang kini bertugas sebagai Duta Besar RI untuk Kazakhstan, bicara soal sikap politiknya di Pemilu 2024.
Dia memastikan tetap mendukung program-program Jokowi dilanjutkan, tetapi menolak politik dinasti.
Awalnya, Fadjroel bicara soal salah satu program Jokowi yakni pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan atau IKN.
"Kalau untuk pemilu ke depan saya tetap akan mendukung program IKN Pak Jokowi. Ini adalah alat untuk Indonesiasentris, pemerataan pembangunan dari Indonesia tengah ke Indonesia timur tanpa melupakan yang barat," kata Fadjroel seusai acara bedah buku karyanya di kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Jumat (19/1/2024).
Namun, dia mengakui bahwa kini ada semacam patahan yang dialaminya.
Baca juga: 6 Hasil Survei Capres 2024 Terbaru Lengkap Survei Tertinggi Calon Presiden 2024 di Jawa Tengah
Sebab, selama hampir 10 tahun Fadjroel mendukung Presiden Jokowi karena melawan Prabowo, tetapi kini tampaknya Jokowi justru mendukung Prabowo di Pemilu 2024.
"Tapi itu juga belum clear juga ya. Jadi begini saja, saya 2014-2019 mendukung Pak Jokowi karena saya tidak memilih beliau (Prabowo). Saya sejak 2014 berada di garis terdepan mendukung Pak Jokowi," ujarnya.
Fadjroel lalu mengatakan capres yang didukungnya adalah yang mengusung agenda reformasi dan agenda konstitusi.
"Saya menolak upaya untuk merongrong konstitusi yang saya perjuangkan tahun 1998. Kalau sekarang ada upaya merongrong konstitusi hasil perjuangan 1998, saya tidak akan berada di sana. Saya akan berbeda pilihan politik dengan Pak Jokowi, tetapi saya tetap memperjuangkan kepentingan nasional dan pemerintah di luar negeri, tetapi saya berbeda dalam pilihan politiknya," kata dia.
Saat ditanya soal putusan MK yang meloloskan Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres, Fadjroel menjawab bahwa persoalan politik dinasti sudah ada sejak dulu.
"Itu deviasi terhadap konstitusi karena kan dulu zaman orde baru kita menolak preisden lebih dari 2 periode," kata dua.
"Kemudian kita juga menolak adanya politik yang bersifat dinasti. Jadi kedua itulah yang betul-betul kita perjuangankan di 1998, karena itulah yang membuat demokrasi menjadi kehilangan ruhnya. Demokrasi itu kan kedaulatan rakyat, bukan kedaulatan keluarga," pungkasnya.