Sementara para anggota DPR, sejauh ini dianggap cenderung pragmatis sebab merupakan politisi yang kerap menimbang-nimbang untung-rugi secara politis.
"Cuma bolanya memang dalam ruang politik formal bukan di tangan kita, tapi di tangannya DPR. Tapi kita tahu tantangannya: semua politisi itu kan pragmatis. Semua ngitung. Kalau saya serang nih Jokowi, saya ruginya apa, saya untungnya apa," ujarnya.
Selain untung-rugi politis, menurut Bivitri saat ini para anggota DPR cenderung disibukkan dengan kegiatan sebagai peserta Pemilihan Legislatif (Pileg).
Hasilnya, produktifitas para anggota dewan cenderung bergeser pada kampanye.
"Karena Pemilunya serentak, Anggota DPR sekarang juga sibuk kampanye. Lihat saja, waktu pembukaan masa sidang kemarin kan yang datang sedikit banget karena mereka sibuk kampanye," ujar Bivitri.
Meski demikian, masyarakat diharapkan dapat terus mendorong isu pemakzulan ini. Sebab menurut Bivitri, hal itu diperlukan untuk menyelamatkan demokrasi yang disebutnya sudah di tepi jurang.
"Sekarang demokrasi kita sudah di tepi jurang. Jadi menurut saya kita harus dorong supaya DPR melakukan upaya upaya pemakzulan. Bisa dimulai dengan interplasi dan hak angket misalnya," katanya.
Adapun pernyataan Jokowi mengenai bolehnya Presiden RI berpihak dan berkampanye, disampaikan dalam acara penyerahan Alutsista yang dilakukan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto kepada TNI di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Rabu, (24/1/2024).
Menurut Jokowi, hal itu karena setiap orang di negara demokrasi memiliki hak politik.
"Hak demokrasi, hak politik setiap orang. Setiap menteri sama saja," ujar Jokowi.
Jokowi menilai bahwa Presiden sebagai pejabat boleh berkampanye. Bukan hanya Menteri, bahkan Presiden sekalipun boleh berkampanye.
"Presiden itu boleh loh kampanye, boleh loh memihak. Boleh," kata Jokowi.
"Boleh, kita ini pejabat publik sekaligus pejabat politik. Masa gini enggak boleh, gitu enggak boleh. Boleh. Menteri juga boleh," katanya lagi.