Laporan wartawan Tribunnews.com, Fahdi Fahlevi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mengawal kasus tindak pidana kekerasan seksual (TPKS) yang menargetkan anak menjadi korban atau pedofilia.
Para pelaku merupakan jaringan internasional yang memperjualbelikan konten eksploitasi anak di bawah umur berupa pornografi anak.
Plh. Deputi Perlindungan Khusus Anak Kemen PPPA, Rini Handayani, mengatakan pihaknya memfasilitasi tenaga saksi ahli untuk memberikan pandangannya terkait kasus ini.
"Kami akan terus mengawal kasus ini dan menyerahkan seluruh proses hukumnya kepada pihak berwajib. Kami menuntut agar para terduga pelaku mendapatkan hukuman berat sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku," ujar Rini melalui keterangan tertulis, Senin (26/2/2024).
KemenPPPA telah melakukan tracing dan visit ke rumah para anak korban serta melakukan pendampingan dalamproses hukum Berita Acara Pemeriksaan (BAP) kepada para anak korban.
Dari pendampingan psikologis yang telah dilakukan, para anak korban cenderung menunjukkan kecemasan dan memiliki rasa percaya diri yang kurang.
"Apalagi usia anak korban tengah memasuki tahap remaja awal dimana belum memiliki kematangan secara emosional dan sosial. Para anak korban pun mudah dirayu, dibujuk, dan dipengaruhi oleh para pelaku karena mereka memiliki tingkat intelegensi yang cenderung rendah,” tutur Rini.
Atas tindakan yang dilakukan para terduga pelaku kepada para anak korban, maka terduga pelaku dapat dijerat menggunakan Pasal 82 Ayat (1) Jo Pasal 76E Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Lalu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan Undan-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.
Terduga pelaku pun dapat diancam dengan hukuman pidana penjara minimal lima tahun dan paling lama 15 tahun.
Baca juga: Kasus Pedofilia di Lampung, Fotografer Diduga Cabuli 21 Siswi SD, Berawal Seragam Korban Acak-acakan
“Kami juga siap memberikan bantuan yang dibutuhkan oleh para anak korban dalam hal pendampingan psikososial,” kata Rini.
Kasus ini diungkap oleh Polresta Bandara Soekarno-Hatta.
Sebelumnya pada 2023 lalu, Polresta Bandara Soekarno-Hatta pun telah bekerjasama dengan International Task Force of Violent Against Children milik Federal Bureau of Investigation (FBI) untuk melakukan investigasi mendalam terkait kasus ini.
Rini mengungkapkan, dari investigasi tersebut pihak Kepolisian berhasil mengamankan salah seorang terduga pelaku dan berbagai macam barang bukti berupa alat penyimpanan berkas (file) yang berisi materi muatan kekerasan seksual terhadap anak yang secara sengaja diunduh dan disimpan oleh pelaku.
Setelah itu, Kepolisian berhasil mengamankankan ketiga terduga pelaku lainnya dan mengidentifikasi 8 (delapan) orang anak korban berinisial MAHAF, FM, RN, NF, HS, S, AFB, dan DP.
Awal mula para terduga pelaku mendekati anak korban adalah dengan berteman lalu sering memberikan makanan dan mengajak anak korban untuk bermain salah satu game online.
Setelah itu para anak korban diberikan akun game online tersebut dan diiming-imingi akan diberikan uang berkisar antara Rp 200 ribu hingga Rp 500 ribu dengan syarat para anak korban mau melakukan tindakan seksual.
"Dari situ para korban lantas melakukan tindakan seksual dengan terduga pelaku baik itu sentuhan alat kelamin hingga persetubuhan,” jelas Rini.
Melansir dari informasi yang dihimpun oleh Tim Layanan Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 Kemen PPPA, diketahui bahwa aktivitas seksual yang dilakukan oleh para terduga pelaku dengan anak korban secara sengaja direkam.
Para anak korban pun sadar bahwa rekaman video tersebut akan disebar luaskan oleh para terduga pelaku.
Tidak hanya direkam, ketika sedang melakukan aktivitas seksual tersebut, para terduga pelaku pun beberapa kali melakukan video call melalui salah satu aplikasi percakapan instan dengan klien terduga pelaku yang berasal dari luar negeri.
Terduga pelaku juga mengirimkan video-video anak korban kepada klien nya.
"Para anak korban pun menyadari bahwa orang-orang yang dihubungi oleh para terduga pelaku melalui video call berasal dari luar negeri dengan percakapan mereka yang menggunakan bahasa inggris. Aksi tersebut juga kerap kali dilakukan di kamar hotel ataupun kontrakan," ungkap Rini.
Dari aksi yang dilakukan tersebut, para terduga pelaku berhasil mengeruk keuntungan sekitar $50 dolar AS hingga $100 dolar AS.
Pembayaran dilakukan melalui payment gateway PayPal yang lalu dapat ditarik ke rekening pribadi terduga pelaku dan terduga pelaku berkenalan dengan kliennya melalui aplikasi percakapan instan Telegram.