Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) Dimas Bagus Arya menuding apa yang disampaikan pemerintah saat berdialog dengan Komite HAM PBB di Jenewa dalam sidang ICCPR pada 11 sampai 12 Maret 2024 lalu bertolak belakang dari realitas.
Dimas mengatakan dalam forum tersebut pemerintah Indonesia lagi-lagi mencitrakan seolah-olah sudah ada patuh terhadap norma pemenuhan, penegakan, pelindungan HAM terutama terkait hak sipil politik.
"Kami menyoroti fakta-fakta yang memang disampaikan secara kontra naratif atau bertolak belakang dari realitas dan juga implementasi yang seharusnya itu bisa menjadi satu evaluasi," kata Dimas di kanal Youtube KontraS pada Senin (18/3/2024).
"Namun pemerintah Indonesia lagi-lagi dalam setiap forum inter nasional mencitrakan bahwa seolah-olah sudah ada kepatuhan terhadap norma pemenuhan, penegakan, perlindungan hak asasi manusia terutama dalam konteks ini adalah hak sipil politik," sambung dia.
Pertama, ia menyoroti soal konteks pelanggaran HAM berat di masa lalu dan juga kasus Munir.
Pemerintah, kata dia, telah menyampaikan soal dua hal tersebut dan direspons secara kritis oleh Dewan Komite ICCPR yang menanyakan perihal progres penyelesaian berbagai kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu.
Bagus mencatat, pemerintah menjawab hal tersebut dengan menyampaikan terkait upaya penyelesaian non yudisial yang termaktub salam Inpres nomor 2 tahun 2023 dan juga Keppres nomor 4 tahun 2023 terkait implementasi Tim Penyelesaian Pelanggaran HAM non yudisial atau PPHAM.
Namun, kata dia, Komite juga menekankan langkah penyelesaian yudisial yang tidak pernah ditempuh oleh pemerintah Indonesia meski Indonesia memiliki mekanisme yudisial dan diakomodir dalam UU 26/2000 tentang pengadilan HAM.
Artinya, lanjut dia, dalam konteks pemenuhan dan penegakan HAM terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu ada empat komponen utama yang harus digaris bawahi oleh pemerintah.
Pertama, kata dia, adalah aspek keadilan.
Kedua, aspek pemenuhan hak kembali atau reparasi atau ganti rugi.
Ketiga, aspek jaminan ketidak berulangan kasus dan aspek kebenaran.
Keempat, kata dia, aspek reformasi institusi.
Keempat aspek tersebut, kata dia, artinya harus ada upaya-upaya untuk melakukan mitigasi atau pencegahan keberulangan kejahatan kemanusiaan yang ada di Indonesia,
"Empat hal itu menurut Komite gagal atau masih belum cukup diupayakan dengan mekanisme penyelesaian non yudisial yang hanya menitikberatkan pada upaya ganti rugi. Itu pun dengan mekanisme yang sangat tidak representatif, asimetris, timpang," kata dia.
"Bahwa aspek pemulihan yang berusaha dilakukan oleh pemerintah Indonesia hanya fokus pada ganti rugi saja. Sementara pemulihan dalam aspek reparasi penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu juga harus memperhatikan komponen berkaitan dengan aspek integrasi sosial kembali, pelurusan sejarah, dan juga aspek untuk pengungkapan kebenarannya itu," sambung dia.
Bagus juga mencatat soal kasus pembunuhan aktivis HAM Munir yang juga disorot oleh Komite ICCPR.
Ia mencatat, Komite ICCPR menangkap kesan ada upaya-upaya untuk menghambat dan memperlambat penyelesaian kasus Munir.
"Pertama, dengan masih belum dibukanya dokumem penyelidikan TPF Munir yang sampai hari ini juga masih belum mampu dikeuarkan oleh pemerintah Indonesia," kata dia.
"Kedua, proses penyelesaian kasus pembunuhan Munir yang itj belum menyasar aktor intelektual. Sehingga Indonesia masih dihadapkan situasi-situasi ancaman terhadap pembela HAM dan itu masih terjadi hingga sekarang," sambung dia.
Aspek kedua yang disorot Bagus adalah perihal pelindungan pembela HAM.
Dalam hal ini, ia menyoroti secara spesifik kasus kriminalisasi aktivis Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar.
Baca juga: TKN Sebut Komite HAM PBB Tidak Punya Bahan Pembicaraan Lagi Sampai Komentari Putusan MK
"Komite ICCPR sendiri menggarisbawahi bagaimana negara masih belum melakukan jaminan pelindungan terhadap kerja-kerja pembela HAM dan juga pembela HAM perempuan," kata dia.
"Yang pada akhirnya semakin banyak ditemukan kasus-kasus kekerasan terutama berkaitan dengan upaya pemenuhan kerja-kerja pembela HAM yang itu kontradiktif dengan kebijakan-kebijakan negara terutama kebijakan pembangunan," sambung dia.
Soal itu, KontraS mencatat dalam kurun 2023 setidaknya ada 100 lebih kasus yang menyasar kerja-kerja pembela HAM terutama yang bergerak di sektor lingkungan, jurnalis, maupun antikorupsi.
Komite, kata dia, juga menyorot soal implementasi UU ITE yang telah direvisi pada November 2023 namun masih belum ada upaya yang nyata untuk menghapus fenomena kriminalisasi dan upaya yang dapat menjerat kerja-kerja pembela HAM dalam konteks pelindungan dan penegakan HAM di Indonesia.
"Komite melihat dan mengupayakan dan mendorong pemerintah Indonesia untuk segera melakukan intervensi dalam menciptakan proses pelindungan terhadap pembela HAM melalui sejumlah regulasi dan berbagai peraturan-peraturan atau kebijakan lainnya," mata Bagus.
Klaim Kementerian Luar Negeri
Dilansir dari laman resmi Kementerian Luar Negeri, pemerintah Indonesia menyampaikan berbagai capaian dan tantangan implementasi hak-hak sipil dan politik di tanah air dalam Sidang Komite HAM beranggotakan 18 pakar independen yang bertugas memonitor implementasi Kovenan Hak Sipil dan Politik (ICCPR) tersebut.
Dirjen Kerja Sama Multilateral Kementerian Luar Negeri Tri Tharyat memimpin Delegasi RI yang terdiri dari sejumlah kementerian dan lembaga serta Perutusan Tetap RI di Jenewa.
"Dialog Konstuktif merupakan proses penting bagi negara-negara yang telah meratifikasi ICCPR," kata Tri dikutip Senin (18/3/2024).
"Kami menegaskan kembali komitmen pemerintah dalam pemajuan dan perlindungan HAM di tanah air, sekaligus berpartisipasi aktif dan konstruktif pada mekanisme HAM PBB," sambung dia.
Tri juga mengangkat capaian positif dalam pelaksanaan Pemilu, termasuk meningkatnya partisipasi perempuan.
"Pada tahun ini 37,07 persen dari 9.917 atau sebanyak 3.676 calon anggota legislatif di DPR adalah perempuan. Tentu ini sebuah perkembangan positif terkait hak perempuan dalam politik," kata dia.
Isu lain yang juga dibahas, menurut Kementerian Luar Negeri antara lain perkembangan di Papua dan Aceh, KUHP, hukuman mati, penyiksaan, kelompok rentan, serta penanganan Pelanggaran HAM Berat.
Dialog juga dihadiri oleh perwakilan masyarakat sipil dan lembaga HAM nasional.
Kementerian Luar Negeri mengklaim Secara umum Komite mengapresiasi upaya pemerintah Indonesia dalam mendorong implementasi hak-hak sipil dan politik.
Komite, menurut Kementerian Luar Negeri juga mencatat sejumlah tantangan dalam upaya penguatan kerangka hukum, kebijakan, dan kapasitas negara guna mengimplementasikan hak-hak sesuai ketentuan Kovenan.
"Dialog Konstruktif bukan arena penghakiman, tetapi forum untuk saling berbagi pandangan guna meningkatkan penikmatan HAM di tanah air," kata Tri.
Direktur Jenderal HAM Kemenkumham, Dhahana Putra, yang juga bertindak selaku wakil ketua delegasi mengutarakan pentingnya Dialog Konstruktif bagi implemementasi HAM di Indonesia.
Pandangan yang disampaikan Komite selama dua hari ini tersebut, kata dia, merupakan bagian proses berkelanjutan dalam upaya meningkatkan pelindungan dan pemajuan HAM di tanah air.
"Tentunya kami siap berkolaborasi bersama stakeholders baik di dalam maupun luar negeri agar hasil dari Dialog Konstruktif dapat memberikan dampak positif bagi peningkatan kualitas penikmatan HAM di tanah air," kata Dhahana.