Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat politik Populi Center Usep Saepul Ahyar mengatakan, suasana hari raya Idulfitri ini sebaiknya dapat dijadikan momentum para elite partai politik (parpol) maupun calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang bertarung di Pilpres 2024 ini melakukan rekonsiliasi nasional.
Usep beralasan berdasarkan dalil-dalil yang diajukan para pemohon dari tim hukum Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar maupun dari Ganjar Pranowo-Mahfud MD dinilai lemah dan berpotensi ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK),
Sebab itu tidak ada pilihan lain lagi selain melakukan rekonsiliasi sebagai jalan tepat untuk membangun persatuan ke depan.
“Dalil-dalil yang dimohonkan ke MK untuk hari ini saya kira tidak begitu kuat dan semua asumsi-asumsi itu, tanpa disodorkan bukti dengan kuat saya melihatnya begitu,” kata Usep saat dikonfirmasi, Kamis (11/4/2024).
Baca juga: Anies-Imin dan Ganjar-Mahfud Tak Dapat Suara Satu Pun di Desa Cileuksa? Politisi Golkar: Tidak Benar
Usep menambahkan, rekonsiliasi dapat dimulai dengan mengakui kekalahan dan mengakui kemenangan lawan, meskipun tidak menutup kemungkinan dalam rekonsiliasi itu terdapat tawar menawar jabatan, apalagi dari elite parpol yang tidak memiliki tradisi menjadi oposisi.
“Apalagi yang tidak punya tradisi oposisi ya rekonsiliasi mungkin lebih baik kalau posisi tawarnya tinggi atau mahal harganya,” ujarnya.
Tetapi bagi Usep, rekonsiliasi bukan berarti menarik semua parpol untuk masuk ke pemerintahan, harus diberi ruang untuk parpol yang ingin berada di jalur opisisi sebagai mekanisme mewujudkan pemerintahan yang demokratis.
“Kalau menurut saya semua ditarik pemerintahan tidak usah lah, kalau ada satu partai yang berani lapar, oposisi saya kira akan mendapatkan kehormatan juga di mata masyarakat ini,” ucapnya.
Usep mengatakan sudah seharusnya para elite legawa, karena masyarakat grassroot atau akar rumput dianggap sudah menerima hasil pilpres yang diumumkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) beberapa waktu lalu.
Usep menilai, adapun aksi unjuk rasa atau protes yang dilakukan oleh sebagian kecil masyarakat merupakan hal yang wajar, ia melihat gelombang protes itu tidak semasif dan tidak tumbuh secara organik seperti saat Pilpres 2014 maupun 2019.
“Gerakan rakyatnya, gerakan masyarakatnya terlihat gelombang dalam konteks masyarakat tidak sesengit di 2014 dan 2019, di tahun-tahun itu kan jelas gerakan rakyatnya, gerakan masyarakatnya terlihat gelombangnya begitu sengit, kalau yang sekarang biasa saja,” ucapnya.
Selain itu, Usep menduga manuver-manuver politik yang dilakukan oleh elite parpol untuk menaikkan harga tawar sekaligus melakukan ‘ronda’ politik sebelum presiden dan wakil presiden terpilih dilantik serta para menteri ditunjuk secara definitif di pemerintahan yang baru.
“Dalam konteks rangkaian politik ini untuk ronda politik agar isu yang diajukan ke MK tidak padam, sama seperti hak angket walaupun hak angket dengan proses politik juga menurut saya mungkin agak berat walaupun mungkin akan dipelihara terus,” ujarnya.
“Sedangkan beberapa partai juga sudah agak berbelok isunya, lalu kemudian demi menjaga spirit politiknya agar tidak cepat dilupakan kalau saya sih begitu, karena ini kan masih lama rondanya, harus lama, Oktober kan baru pelantikan presiden, baru diumumkan menteri-menteri kabinet itu,” pungkasnya.