TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) melakukan pendalaman terkait laporan dugaan pelanggaran etik terhadap hakim konstitusi Guntur Hamzah.
Ketua MKMK I Dewa Gede Palguna mengatakan, pihaknya telah menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan terhadap para pelapor.
Sidang agenda pemeriksaan pendahuluan itu telah digelar, pada Selasa (16/4/2024). Di hari yang sama, MKMK juga telah memeriksa hakim Guntur Hamzah.
Pemanggilan Guntur Hamzah sebagai hakim terlapor itu dilakukan guna mendengar klarifikasinya.
"Kami sudah melakukan pemeriksaan pendahuluan kemarin dan mendengar klarifikasi dari hakim terlapor," kata Palguna, saat dihubungi Tribunnews.com, pada Rabu (17/4/2024).
Palguna kemudian menuturkan, saksi dan ahli akan dihadirkan para pelapor. Adapun saksi diajukan pelapor 1 dan ahli bakal diajukan pelapor 2.
"Saksi dan ahli itu kami jadwalkan untuk didengar tanggal 23 April siang," ucapnya.
Baca juga: Ikut Sidang Pilpres Pertama, Hakim Guntur Hamzah Dipersoalkan Pelapor Etik
Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) M Guntur Hamzah dilaporkan terkait dugaan pelanggaran etik ke Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), Kamis (21/3/2024).
"Setahu saya iya. Ada laporan masuk baru, dua (laporan). Hakim terlapornya M Guntur Hamzah," kata Juru Bicara MK sekaligus Ketua Sekretariat MKMK Fajar Laksono, kepada wartawan di gedung MK, Jakarta, Kamis (21/3/2024).
Soal kedua laporan itu, kata Fajar, pelapor mempermasalahkan Guntur Hamzah yang memiliki jabatan di luar profesinya sebagai hakim, yakni Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara/Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN).
Diketahui, pelapor dugaan pelanggaran etik terhadap Guntur Hamzah ini adalah kalangan mahasiswa, yakni Dirut Oase Law Firm Ahmad Ghiffari Rizqul, Josua A.F. silaen, Michael Purnomo, Sheehan Ghazwa M. Laporan diajukan ke MKMK, pada 19 Maret 2024.
Baca juga: MKMK Nilai Gugatan Anwar Usman ke PTUN Melanggar Etik
Dalam laporannya, pelapor meminta MKMK untuk melarang Guntur Hamzah ikut menangani perkara perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) atau sengketa hasil Pemilu 2024, baik Pemilu Legislatif (Pileg) maupun Pemilu Presiden (Pilpres).
Jika itu terjadi, maka ada kekhawatiran MK tak bisa menyelenggarakan sidang sengketa hasil Pemilu 2024.
Sebab, sesuai aturannya, sidang MK dapat digelar dengan minimal delapan hakim. Sementara, putusan MKMK Nomor 2/MKMK/L/11/2023 telah menyatakan larangan untuk Hakim Anwar Usman terlibat menangani perkara perselisihan hasil Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang memiliki potensi timbulnya benturan kepentingan.