Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ashri Fadilla
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Nasib pekerja perempuan tak begitu mulus saat menjajaki dunia kerja.
Gambaran itu dikisahkan seorang pekerja perempuan saat mengikuti aksi unjuk rasa Hari Buruh 2024, di kawasan Patung Kuda Arjuna Wijaya, Gambir, Jakarta Pusat, Rabu (1/5/2024).
Dalam unjuk rasa dengan aksi teatrikal itu, pekerja perempuan bernama Manda menyuarakan aspirasi pekerja perempuan dengan monolog di hadapan 200 pekerja perempuan lainnya.
Dia berlakon seolah memaki bosnya yang mengajukan syarat tak masuk akal bagi perempuan.
Di antara syarat-syarat itu yakni, berpenampilan menarik alias good looking dinilai kerap menghambat karier pekerja perempuan.
"Peraturan tidak jelas, syarat kerja tidak jelas, harus good looking, harus ini, harus itu," teriak Manda, orator yang membawakan monolog di hadapan peserta aksi.
Baca juga: Presiden KSPI Sebut Upah Ideal Buruh di Jakarta Rp 7 Juta: Covid-19 jadi Alasan Mainkan Upah
Padahal upah yang diperoleh tak sebanding dengan syarat-syarat yang diajukan.
Meski kinerja baik, penampilan fisik kerap lebih diutamakan bagi perempuan.
"Gaji 2 juta. Kagak ada otaknya bapak. Nanti dibilang: kamu tatoan ya, kamu tindikan ya, kamu jelek. Saya kerja bener, omset kita naik. Gaji saya dipending," kata Manda sembari memegang mikrofon merah muda di tangan kanannya.
Kalimat itu langsung memantik teriakan para peserta aksi yang merupakan pekerja perempuan.
Meski dalam posisi duduk bersila di atas aspal, mereka kompak mengangkat poster tuntutan-tuntutan terkait hak-hak pekerja perempuan.
"Hidup perempuan!"
Baca juga: IPW Curiga Brigadir RAT jadi Pengawal Pengusaha di Jakarta Atas izin Atasan, Tapi Tak Resmi
Kemudian tak habis dengan good looking, orator juga menyinggung syarat "ngamar ke hotel" yang tentu menjadi penghambat perempuan dalam berkarir.
"Oh saya terbayang-terbayang rekaman itu. Rekaman suara si bajingan yang bilang: Kalau mau naik gaji, ke hotel dulu sama saya."
Pada bait itu, Manda, sang orator yang berpakaian serba hitam tampak murka sembari melangkah ke kanan dan kiri bergantian.
Terlebih saat menyinggung soal hak-hak pekerja perempuan yang diabaikan meski telah memenuhi kewajiban dan prasyarat tak masuk akal.
"Saya haid, sakit berhari hari. saya minta cuti, bapak gak kasih. giliran ke hotel, bapak minta segera segera. saya apa di mata bapak? saya pekerja!"
"Sudah diam, bapak tidak usah bicara! Gaji saya 3 bulan tidak keluar. Naikkan gaji saya. Tidak perlu hotel lagi pak," katanya geram.
Sayangnya, nasib perempuan pekerja kerja tak lebih mujur saat pulang ke rumah.
Beban ganda mesti dipikul para perempuan pekerja, sebab juga harus mengurus "dapur sumur kasur" sendiri.
Begitu mengeluhkan masalah pekerjaan kepada keluarga, berhenti kerja menjadi satu-satunya solusi yang ditawarkan.
"Saya pulang ke rumah, saya adukan ke suami saya, apa yang saya dapat? Kekerasan, kekerasan, kekerasan. Saya bilang ke ibu suami saya. Apa yang dia bilang? 'Ya kamu nurutlah, kamu kan istri. Ya kamu enggak usah kerja, kamu kan istri.'"
Baca juga: Istana Bantah Jokowi Kunjungan Kerja ke NTB Untuk Hindari Demo Buruh
Monolog yang disampaikan Manda sebagai perwakilan Aliansi Perempuan Indonesia hanyalah sebagian kecil keresahan para pekerja perempuan dari berbagai latar organisasi.
Aliansi tersebut menyoroti data kekerasan yang kerap diterima perempuan pekerja, terlebih dari kelompok rentan.
Berdasarkan Catatan Komnas Perempuan tahun 2023, terjadi 321 kekerasan pada perempuan buruh migran dan 103 kekerasan pada perempuan disabilitas.
Sedangkan dari survei UNESCO tahun 2021 hingga 2024, sebanyak 735 jurnalis perempuan pernah mengalami kekerasan online, 3308 kasus kekerasan terhadap PRT.
Tuntutan pun dilayangkan bagi para pemangku kebijakan agar meminimalisir syarat-syarat tak masuk akal dan beban ganda yang diterima perempuan pekerja.
Baca juga: INFOGRAFIS: Daftar Aliran Uang SYL yang Terkuak di Sidang Korupsi Kementan
Secara umumnya mereka memiliki memiliki 11 tuntutan, yakni:
- Tegakkan demokrasi dan supremasi hukum
- Segera Sahkan UU PPRT
- Berikan upah dan penghidupan yang layak bagi buruh
- Segera sahkan kebijakan yang mendukung penghapusan kekerasan dan perlindungan perempuan dengan:
a). Mengesahkan beberapa RUU yang penting seperti RUU Perlindungan Masyarakat Adat, RUU Anti Diskriminasi, dan Raperda Bantuan Hukum DKI Jakarta
b). Menyusun aturan pelaksana yang mendukung implementasi UU TPKS
c). Meratifikasi Konvensi ILO No. 190 tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja; - Segera Cabut atau membatalkan regulasi yang anti-demokrasi seperti UU Cipta Kerja dan Revisi UU ITE
- Segera memberikan kepastian untuk perlindungan Pembela HAM dan lingkungan dari praktik kekerasan, serangan, dan kriminalisasi
- Melarang kebijakan yang mendiskriminasi berdasarkan gender dan orientasi seksual, Hapus syarat kerja yang diskriminatif
- Mengakomodasi kebutuhan maternitas bagi pekerja perempuan
- Menyediakan akses yang ramah bagi disabilitas di lingkungan kerja
- Memberikan jaminan kesehatan yang layak bagi perempuan pekerja; dan
- Membangun tata kelola pangan yang berkelanjutan dan menurunkan harga sembako.