TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dalam memperingati Hari Buruh (May Day), ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh pengusaha untuk membangun dan mengembangkan bisnisnya agar tidak berimbas kepada para pekerja buruh.
Sebab, tidak sedikit sebuah usaha berakhir di pengadilan karena tersangkut masalah hukum.
Beberapa contoh di antaranta yakni penggunaan lahan secara ilegal, pencurian listrik, perizinan yang tidak diurus atau pelanggaran merek dagang. Bahkan, beberapa waktu lalu sempat terjadi aksi unjuk rasa yang dilakukan karyawan PT PRLI di Kantor Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA) karena terancam PHK akibat sengketa merek dagang.
Dalam isu merek dagang, masih banyak pengusaha nakal yang mendompleng merek terkenal dengan membuat produk palsu. Setelah terjadi masalah hukum, pengusaha akan berlindung dibalik isu nasib tenaga kerja. Padahal, sejak awal pengusaha sadar melakukan pelanggaran pemalsuan demi keuntungan besar sehingga pekerja ikut terkena dampak.
Pakar Hukum Kekayaan Intelektual, Dwi Anita menjelaskan prinsipnya jika ingin bisnis dengan baik itu harus memiliki merek yang benar-benar sah. Menurut dia, masih banyak kasus pemalsuan merek di Indonesia tapi malah menyasar kepada penjaga toko atau petugas gudang, bukan si pengusahanya.
“Ironinya, kondisi di Indonesia saat ini dampak pelanggaran merek masih menyasar kepada tingkat pekerja seperti penjaga toko atau petugas gudang. Padahal, pelanggaran yang sesungguhnya adalah pengusaha,” kata Anita melalui keterangannya pada Rabu, 1 Mei 2024.
Anita menyebut pertumbuhan permohonan merek dagang menjadi salah satu indikator perekonomian sebuah negara.
Dengan banyaknya merek yang terdaftar, menandakan banyaknya pertumbuhan bisnis yang sedang berjalan.
“Di Indonesia, wilayah Jawa Barat menjadi penyumbang terbesar dalam permohonan merek dagang. Dari sekitar 127.000 permohonan merek, Jawa Barat menyumbangkan lebih dari 40.000 pendaftaran merek,” jelas dia.
Sementara itu, Kepala Divisi Pelayanan Hukum Kementerian Hukum dan HAM (Kadiv Yankum Kemenkumham) Jawa Barat, Andi Taletting Langi membuka resep terciptanya pertumbuhan permohonan merek dagang di Jawa Barat.
Menurut dia, kerja sama antar kementerian dan Pemerintah Daerah Jawa Barat menjadi kunci.
“Sosialisasi dan bantuan dalam pendaftaran merek digalakkan kepada segenap pelaku usaha,” ungkapnya.
Kata Andi, bahwa urusan merek tidak hanya berhenti sampai pendaftaran, usaha untuk membuat mereknya menjadi terkenal juga membutuhkan usaha yang keras dan kreatif. Selain itu, perlindungan hukum bagi pemilik merek merupakan kewajiban negara agar merek mereka tidak dicuri orang lain.
“Dengan pengusaha yang beritikad baik dan dapat perlindungan hukum dari negara, maka dunia usaha yang beradab akan tercipta. Manusia akan menjalani hakikatnya sebagai individu yang bekerja untuk meningkatkan taraf kehidupannya, tidak lagi menjadi tameng para pengusaha yang tak bertanggung jawab,” pungkasnya.
Sementara Praktisi Hukum, Juliane Sari Manurung menjelaskan dalam Undang-undang diatur bahwa itikad tidak baik adalah jika pemohon merek sudah mengetahui pada saat mengajukan pendaftaran merek, dan merek yang didaftarkannya memiliki persamaan atau identik dengan merek pihak lain.
"Pasal itikad tidak baik tertuang dalam UU Nomor 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, yaitu Pasal 21 Ayat (3), Pasal 76 dan Pasal 77 Ayat (2)," pungkasnya.