Laporan Wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Klaster Pendidikan, Waktu Luang, Budaya dan Agama Aris Adi Leksono menyoroti masih maraknya kasus kekerasan anak di satuan pendidikan atau sekolah.
Hal tersebut diungkapkan Aris Adi Leksono berkaitan dengan peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) yang jatuh hari ini.
Aris mengatakan, kasus kekerasan anak pada satuan pendidikan ibarat fenomena gunung es, dimana satu kasus nampak, lainnya masih banyak yang tertutupi, satu kasus tertangani, masih banyak kasus lain yang terabaikan.
Sepanjang 2023, KPAI menerima laporan pengaduan sebanyak 3.877 kasus, dari sejumlah pengaduan tersebut kekerasan pada lingkungan satuan pendidikan sebanyak 329 kasus.
Dari jumlah tersebut aduan tertinggi adalah korban kekerasan seksual, anak korban bullying/perundungan (tanpa laporan polisi), anak korban kekerasan fisik/psikis, anak korban kebijakan, serta anak korban pemenuhan hak fasilitas pendidikan.
Sementara itu, hingga Maret 2024, KPAI sudah menerima pengaduan pelanggaran terhadap perlindungan anak sebanyak 383 kasus, 35 persen terjadi di lingkungan satuan pendidikan.
Baca juga: Guru Besar UIN Jakarta: Hardiknas Jadi Momentum Perbaikan Pendidikan Tinggi
"Pengawasan KPAI menunjukkan bahwa dampak kekerasan pada satuan pendidikan tidak sekadar fisik/psikis, tapi sampai berakibat kematian atau anak mengakhiri hidup," kata Aris dalam keterangan yang diterima, Kamis (2/5/2024).
Selain itu, KPAI juga mengidentifikasi pola kekerasan yang terjadi pada satuan pendidikan, di antaranya; kecenderungan dilakukan dengan keroyokan, dengan melibatkan circle/gengnya, dilakukan secara sadis, terbuka, dan seakan merasa bangga, tanpa malu dan tidak takut akan akibat yang ditanggung.
Selain itu, ada keinginan mendokumentasikan kekerasan yang dilakukan, sehingga merasa bangga ketika viral.
Ia pun mengungkap hasil pengawasan KPAI pada beberapa kasus menunjukkan bahwa kekerasan pada satuan pendidikan marak terjadi karena beberapa faktor.
Pertama, belum optimalnya sosialisasi, pembinaan, dan edukasi tentang kekerasan pada satuan pendidikan hingga menyentuh lingkungan tri pusat pendidikan.
Kedua, satuan pendidikan belum tercukupi SDM yang memiliki kompetensi terhadap kinerja perlindungan anak, terutama yang bertugas pada tahap asesmen awal, melakukan deteksi dini perilaku menyimpang, memberikan layanan rehabilitasi, pendampingan psikososial, dan lainnya.
Baca juga: KPAI: Anak Bermasalah Di Sekolah Tidak Boleh Di-DO, Harus Diedukasi Agar Berubah Lebih Baik
Ketiga, satuan pendidikan tidak melakukan deteksi dini terhadap potensi penyimpangan perilaku pada peserta didik, bagaimana mengenali “circle” peserta didik, bagaimana interaksi anak dengan keluarga dan lingkungan, bagaimana mengawasi media sosialnya, dan lainnya.
Keempat, sebagian warga satuan pendidikan menganggap “biasa” praktik kekerasan, "biasa kenakalan anak-anak, karena menurutnya kekerasan adalah salah satu bentuk pengajaran dan pendisiplinan.
Kelima, cenderung menutupi kejadian kekerasan yang terjadi, karena dianggap akan merusak reputasi lembaga atau karir personalia di dalamnya.
Keenam, beban belajar yang masih bertumpu pada transfer pengetahuan, belum menyentuh secara optimal penguatan sikap, karakter, mental, dan adab/akhlak mulia.
"Akibatnya disiplin positif pada diri anak terlambat terbentuk, sehingga tumbuh kembangnya banyak dipengaruhi lingkungan pergaulan dan media sosial, akhirnya sulit membedakan mana perilaku positif atau negatif," katanya.
Ketujuh, situasi anak yang terlibat kekerasan pada satuan pendidikan berasal dari latar belakang pengasuhan keluarga atau pengasuhan alternatif yang kurang positif. Sehingga, masalah yang dialami anak pada ruang pengasuhan, berpengaruh
pada pembentukan sikap, mental, dan pola pergaulan anak pada satuan pendidikan.
Kedelapan, belum optimal implementasi regulasi pencegahan dan penanganan kekerasan pada satuan pendidikan di tingkat pemerintah daerah dan satuan pendidikan.
Terbukti, kata Aris, masih terjadi miskonsepsi terkait pola koordinasi lintas organisasi pemerintah daerah (OPD), aparat penegak hukum, satuan pendidikan dan lembaga masyarakat terkait teknis pembentukan Satgas Daerah, Tim pencegahan dan penanganan kekerasan pada satuan pendidikan, teknis penanganan kasus, dan lainnya.
"Atas dasar kondisi tersebut, pada Hari Pendidikan Nasional, Mei 2024, KPAI mengajak agar semua pihak turun tangan, bergerak serentak mewujudkan perlindungan anak pada satuan pendidikan," kata dia.