News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Dugaan Korupsi di Kementerian Pertanian

Mengingat Kritik Ahok soal BPK usai Auditor Disebut Minta Rp 12 M agar Kementan Berpredikat WTP

Penulis: Yohanes Liestyo Poerwoto
Editor: Garudea Prabawati
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Kritik Ahok terkait BPK dirasa perlu diingat ketika lagi-lagi lembaga tersebut terseret dalam kasus korupsi. Kini BPK terseret kasus SYL.

TRIBUNNEWS.COM - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terseret dalam perkara gratifikasi dan pemerasan di Kementerian Pertanian (Kementan) dengan salah satu terdakwanya adalah Menteri Pertanian (Mentan), Syahrul Yasin Limpo atau SYL.

Lembaga independen itu disebut dalam sidang lanjutan perkara SYL yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Rabu (8/5/2024).

Salah satu oknum auditor BPK disebut meminta uang kepada Kementan sebesar Rp 12 miliar agar memperoleh predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).

Nama tersebut disebut oleh Sekretaris Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementan, Hermanto, saat ditanya jaksa KPK terkait temuan tak wajar termasuk iuran pegawai Kementan untuk memenuhi kebutuhan pribadi SYL.

Usai adanya kesaksian itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun berencana akan mengusut terkait hal tersebut.

Namun, pengusutan itu baru akan dilakukan setelah sidang perkara SYL selesai.

"Nanti pengembangan lebih jauhnya adalah ketika proses-proses persidangan selesai secara utuh," tuturnya kepada Tribunnews.com, Kamis (9/5/2024).

Ali mengatakan jaksa KPK perlu mengonfirmasi ke berbagai pihak terkait sehingga temuan itu bisa menjadi fakta hukum.

Kemudian, laporan itu nantinya bakal menjadi dasar KPK mengembangkan dugaan korupsi menyangkut WTP dari BPK.

Baca juga: Berkaca Auditor Minta Rp 12 M agar Kementan WTP, MAKI Sebut BPK Wajib Ada Dewas seperti KPK

Hanya saja, seperti yang disampaikan di atas, laporan itu baru dapat ditindaklanjuti usai hakim sudah mengumumkan putusan bagi para terdakwa.

"Jaksa akan menyimpulkan dalam analisisnya di surat tuntutan baru kemudian menyusun laporan perkembangan penuntutan," jelasnya.

Pasca-terseretnya anggota BPK ini, tentu menjadi ironi lantaran lembaga yang seharusnya memeriksa pengelolaan keuangan negara, tetapi justru turut terseret dalam pusara dugaan suap, dalam konteks kasus SYL ini.

Bahkan, mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok pernah mengkritik peran BPK lantaran tidak ada pihak ketiga yang mengawasi meski sudah ada anggota BPK terjerat kasus korupsi.

Ahok Pernah Kritik Peran BPK, Tak Ada Lembaga Lain yang Awasi

Pada tahun 2021 di kanal YouTube miliknya, Ahok pernah mengkritik peran BPK lantaran tidak ada pihak ketiga yang mengawasi lembaga pengawas keuangan negara tersebut.

Kritik Ahok itu dilandasi dari peran BPK, termasuk saat mengambil sebuah keputusan.

"Jadi semua putusan ada di BPK dan mereka dikasi undang-undang BPK itu, tidak boleh ada pihak ketiga melakukan perhitungan, dia putuskan A harus terima A, selesai Anda," ujar Ahok dalam kanal YouTubenya, Panggil Saya BTP pada 19 November 2021 lalu.

Meski bisa mengajukan keberatan ke badan kehormatan, Ahok tetap mengkritik wadah tersebut lantaran dinilai tidak adil.

Adapun yang dimaksud Ahok karena keberatan yang diajukan justru disampaikan kepada badan yang mengawasi kinerja BPK sendiri.

Ahok beranggapan bahwa hal tersebut menjadi celah bagi oknum untuk dimanfaatkan sebagai cara untuk melakukan suap-menyuap.

"Jadi, ada kesan begini 'tenang kalau BPK sudah periksa dan dinyatakan tidak ada kerugian, aman lah kita," ujarnya.

Baca juga: Sosok Victor, Auditor BPK Disebut Minta Rp 12 M untuk Opini WTP Kementan, Diungkap Eks Anak Buah SYL

Lantas, Ahok pun menceritakan pengalamannya saat dipanggil BPK soal kasus sengketa lahan Rumah Sakit (RS) Sumber Waras ketika dirinya masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta.

Dia mengatakan saat itu BPK mempertanyakan kerugian negara akibat membeli lahan dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang tinggi.

Hal tersebut ditanyakan ke Ahok lantaran, menurut BPK, seharusnya Ahok dapat menentukan NJOP dengan nilai yang lebih rendah ketika masih menjadi Gubernur DKI Jakarta.

"Dia mempersoalkan, kenapa Anda beli tanah dengan harga NJOP, sedangkan Anda seorang gubernur bisa memutuskan NJOP mau berapa."

"Kenapa Anda gunakan NJOP yang mahal, sedangkan di gang-gang belakang ada NJOP yang murah," jelas Ahok.

Lantas, Ahok membalas dengan mengatakan bahwa penentuan NJOP itu bukan wewenangnya sebagai gubernur tetapi wewenang Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

Lalu, sambungnya, jika dirinya menurunkan NJOP, maka warga sekitar bakal menuntut kebijakan tersebut.

Berkaca dari sengkarut BPK tersebut, Ahok pun mengusulkan agar ada revisi UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan.

"Kalau orang dulu mempersoalkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mesti direvisi Undang-undangnya, saya kira Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang harus direvisi Undang-undangnya juga," tegas Ahok.

"Anda harus revisi Undang-undang BPK. Kenapa? Kenapa bisa juga ada oknum di BPK atau oknum di BUMN, terbukti bisa masuk penjara tuh. Pejabat di BPK juga ada yang masuk penjara, artinya ada oknum kan," pungkasnya.

(Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto)

Artikel lain terkait Dugaan Korupsi di Kementerian Pertanian

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini