TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hakim Agung Suharto resmi menjadi Wakil Ketua Mahkamah Agung (MA) bidang Non-Yudisial.
Prosesi sumpah jabatan tersebut disaksikan langsung Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (15/5).
Suharto mengisi kekosongan posisi tersebut setelah Hakim Agung Sunarto dilantik menjadi Wakil Ketua MA bidang Yudisial pada 3 April 2023 lalu.
Jika pada pelantikan pejabat negara lain, Jokowi memimpin pengucapan sumpah, di prosesi kali ini presiden hanya menyaksikan Suharto membacakan sumpah jabatan.
"Saya bersumpah bahwa saya akan memenuhi kewajiban Wakil Ketua Mahkamah Agung bidang Non Yudisial dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa," ucap Suharto membacakan sumpahnya di hadapan Presiden Jokowi.
Hakim Agung Suharto diketahui memiliki catatan kontroversial karena menganulir vonis terpidana pembunuhan berencana eks Kadiv Propam Ferdy Sambo dari hukuman mati menjadi seumur hidup.
Suharto sebelumnya dilantik menjadi Hakim Agung oleh Ketua Mahkamah Agung pada Selasa 19 Oktober 2021 lalu.
Hakim Agung kelahiran Madiun 13 Juni 1960 ini mulai dikenal luas melalui kasus pembunuhan yang dilakukan mantan petinggi Polri Ferdy Sambo.
Suharto adalah salah satu hakim yang menganulir hukuman mati Sambo di tingkat kasasi, mengubahnya menjadi hukuman penjara seumur hidup.
Sebelumnya, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menolak upaya banding yang diajukan Ferdy Sambo, ia tetap divonis hukuman mati oleh PN Jakarta Selatan.
Suharto sendiri lahir pada 13 Juni 1960 mengawali kariernya di lembaga peradilan sebagai CPNS Calon Hakim pada Pengadilan Negeri (PN) Madiun pada tahun 1985.
Pada tahun 1987, ia diangkat sebagai Hakim pada Pengadilan Negeri Kota Baru (Kalimantan Selatan).
Pada tahun 1991, ia mendapat mutasi sebagai hakim pada Pengadilan Negeri Tarakan (Kalimantan Timur).
Enam tahun berikutnya (1997), Suharto kembali mendapatkan keputusan alih tugas ke PN Balikpapan yang dijalaninya hingga awal tahun 2002.