News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Revisi UU Penyiaran

Saat Anggota Komisi I DPR Diberondong Pertanyaan Para Tokoh Pers Terkait Revisi UU Penyiaran

Penulis: Gita Irawan
Editor: Muhammad Zulfikar
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi Kebebasan Pers. Para sesepuh atau tokoh pers berkumpul dalam acara Diskusi Publik IJTI bertema Menyoal Revisi UU Penyiaran yang Berpotensi Mengancam Kemerdekaan Pers di Hall Dewan Pers Jakarta Pusat pada Rabu (15/5/2024). Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu menyatakan pihaknya bersama seluruh konstituen menolak Rancangan Undang-undang (RUU) Penyiaran yang tengah ramai diperbincangkan.

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Para sesepuh atau tokoh pers berkumpul dalam acara Diskusi Publik IJTI bertema Menyoal Revisi UU Penyiaran yang Berpotensi Mengancam Kemerdekaan Pers di Hall Dewan Pers Jakarta Pusat pada Rabu (15/5/2024).

Mereka yang tampak hadir di antaranya Ketua Dewan Pers Dr Ninik Rahayu, Anggota Dewan Pers Yadi Hendriana, Dewan Pertimbangan IJTI/Jurnalis Senior Imam Wahyudi, Ketua Umum PWI Hendry Ch Bangun, dan Jurnalis Senior atau Praktisi Wina Armada.

Selain itu hadir secara daring anggota Komisi I DPR RI Dave Laksono.

Baca juga: Dewan Pers: RUU Penyiaran Secara Frontal Mengekang Kemerdekaan Pers

Juga hadir sejumlah perwakilan pemimpin redaksi media massa serta tokoh pers lainnya.

Setelah masing-masing pembicara menyampaikan kritik serta catatannya terkait dengan wacana revisi UU Penyiaran, giliran Dave Laksono menyampaikan pandangannya.

Dave menegaskan akan menerima semua masukkan untuk menjadi bahan pembahasan. 

Ia menjelaskan baru saja Komisi I menggelar rapat internal untuk membahas kegiatan Komisi I di antaranya mengenai UU Penyiaran.

"Ini perlu saya sampaikan bahwa saat ini segala macam draf yang beredar, yang muncul, walaupun revisi UU tersebut adalah inisiatif DPR, akan tetapi mesti dipahami, diketahui, bahwa draf yang beredar itu belum pernah dibahas secara detail oleh Komisi I," kata Dave dikutip dari kanal Youtube KOMPASTV pada Rabu (15/5/2024).

"Drafnya, nggak rahasia ya. Nggak rahasia, itu terbuka kok. Jadi jangan langsung nuduh dulu," sambung dia.

Baca juga: AJI Minta RUU Penyiaran Tak Dibahas DPR Periode Sekarang

Dave mengatakan saat ini pembahasan terkait revisi UU Penyiaran tersebut masih dalam tahap harmonisasi di Baleg.

Ia menjelaakan maksudnya adalah untuk memastikan tidak ada pasal demi pasal yang bertentangan dengan UU yang lain. 

Dave melanjutkan, setelah proses itu selesai di Baleg maka revisi UU Penyiaran akan dibawa ke Paripurna untuk disahkan menjadi Rancangan Undang-Undang.

Setelah itu, kata dia, Komisi I akan ditugaskan untuk memulai pembahasan soal revisi UU Penyiaran.

"Lalu setelah ditugaskan ke Komisi I baru akan kita bahas secara detail pasal demi pasal, apa yang menjadi kendala, apa yang menjadi masukan. Dan kita akan membuka pembahasan ini, kita akan mengundang semua pihak terkait untuk memberikan masukannya agar bisa melengkapi dan menyempurnakan," kata dia.

Meski beberapa pasal dalam draf UU Penyiaran telah ramai dipersoalkan, namun demikian ia mengajak untuk melihat UU tersebut secara lebih luas mengingat saat ini era digitalisasi di mana muncul fenomena derasnya informasi di media sosial, layanan over the top untuk TV, layanan yang berkaitan dengan teresterial, penyiaran, radio, hingga podcast.

Untuk itu, menurutnya UU tersebut penting dan perlu untuk mencakup segala macam aspek yang berkaitan dengan penyiaran. 

Dave mengaku tak bisa mengulas lebih jauh karena pembahasan RUU  tersebut di DPR masih menunggu harmonisasi selesai untuk diserahkan ke Komisi I untuk mulai dibahas.

"Dan juga perlu diingat, semangatnya itu tidak ada semangat untuk pembredelan. Tidak ada pemikiran untuk itu pemberangusan akan akses informasi," kata dia.

"Ini kita masih memberikan peluang bagi siapapun untuk memberikan masukkan dan pandangan untuk justru menguatkan dunia media kita, dunia penyiaran kita secara keseluruhan agar seluruh insan baik insan pers, insan penyiaran itu bisa membantu memgawasi tumbuhnya demokrasi yang ada di Indonesia," sambung Dave.

Usai Dave menyampaikan pandangannya, giliran para hadirin bertanya kepada Dave dalam sesi tanya jawab.

Saat itu, para hadirin yang merupakan "sesepuh" atau tokoh di bidang pers mencecar Dave dengan sejumlah pertanyaan secara bergantian.

Apabila dirangkum, pertanyaan-pertanyaan dari para sesepuh itu seputar tenggat waktu RUU tersebut disahkan dan jaminan pasal-pasal yang dianggap mengekang kebebasan pers dihapus.

Baca juga: Dewan Pers Persoalkan Penyelesaian Sengketa Jurnalistik Dialihkan ke Komisi Penyiaran

Ada pula yang bertanya soal partisipasi komunitas pers dalam pembahasan, asal usul draf RUU tersebut, hingga apa yang ada di pikiran anggota Komisi I DPR tentang pasal-pasal yang dianggap mengekang kebebasan pers tersebut.

Menjawab pertanyaan soal tenggat waktu, Dave mengakui Anggota Komisi I DPR periode ini menargetkan revisi UU Penyiaran rampung sebelum masa jabatan mereka berakhir pada 30 September tahun ini.

Ia mengatakan hal tersebut agar tidak ada utang untuk anggota DPR periode berikutnya mengingat wacana revisi UU tersebut sudah mulai dibahas sejak 2012. 

Dave berdalih awalnya anggota Komisi I DPR ingin menyelesaikan di awal masa jabatan. 

Akan tetapi, kata dia, di awal masa jabatan mereka Indonesia dihantam pandemi covid-19 sehingga prioritas mereka bergeser.

"Bilamana memang kita bisa selesaikan sebelum September ya alhamdulillah. Bila masih ada yang belum selesai juga, ya berarti harus carry over ke periode yang berikutnya," kata dia.

Menjawab pertanyaan soal pasal-pasal yang dikhawatirkan komunitas pers di antaranya yang melarang konten eksklusif jurnalisme investigasi, Dave mengatakan masih ada cukup waktu untuk membahasnya.

Ia mengatakan masih ada dua masa sidang.

"Masih ada cukup waktu kok. Masih ada dua masa sidang lagi. Kita bisa kebut, kita bisa undang semuanya. Dalam rangka itu, nanti kita minta pertama, pembahasannya dilakukan secara terbuka," jawab dia.

"Kedua, semua insan dan semua stakeholder terkait bisa proaktif baik itu memberikan masukan, pandangan," sambung dia.

Terkait asal usul draf RUU Penyiaran, Dave menjawab mendapatkannya dari Badan Legislasi (Baleg) DPR.

Ia juga menyatakan draf tersebut belum dibahas secara detail di Komisi I.

"Jadi seperti tadi saya sampaikan bahwa ini pembahasan baru mulai berlangsung. Jadi nanti begitu pembahasan pasti kita akan undang semua pihak terkait termasuk juga Dewan Pers dan juga dari KPI untuk kita pastikan tidak ada yang tabrakan antara UU ini," kata dia.

"Makanya kita menunggu Baleg menyelesaikan untuk dikirim ke Paripurna, disahkan di Paripurna, lalu ditugaskan ke Komisi I untuk kita mulai bahas," sambung dia.

Soal apa yang ada dibenak anggota Komisi I DPR perihal pasal-pasal yang dinilai mengekang kebebasan pers dan perhatian mereka terhadap kemerdekaan pers, Dave menjelaskan pembahasan mengenai UU tersebut di DPR dimulai tahun 2012.

Tujuannya, kata dia, adalah untuk menyongsong era digitalisasi.

Baca juga: Dewan Pers: RUU Penyiaran Secara Frontal Mengekang Kemerdekaan Pers

Karena pada waktu UU Penyiaran disahkan tahun 2002, lanjut dia, tidak terpikir akan ada digitalisasi sedrastis hari ini.

Mengingat begitu cepatnya perkembangan internet dan dunia penyiaran, kata dia, sehingga dinilai perlu ada penyesuaian-penyesuaian. 

Menurutnya, perkembangan dunia informasi yang ada saat ini tanpa adanya penyaringan, akan berdampak pada generasi penerus.

"Begitu mudahnya derasnya informasi itu bergulir sehingga tidak ada penyaringan atau apapun. Jadi siaran-siaran terestrial, segala macam hal harus patuh di aturan KPI dan juga disensor, kadang-kadang orang berenang saja sampai sudah harus disensor," jawab dia.

"Lalu ketika nonton di Youtube atau lainnya, nyaris tidak ada sensor. Anak umur berapa saja bisa menonton macam-macam. Apakah itu paham-paham ideologi barat tentang LGBTQ segala macam itu bebas disaksikan oleh anak-anak kita sendiri. Itu salah satu semangat utama melakukan revisi," sambung dia.

Terkait dengan kemerdekaan pers, ia kembali menyatakan bahwa draf tersebut belum final dan pembahasan masih berlangsung di DPR.

Meskipun ia menangka adanya dugaan RUU tersebut dipaksakan, ia menegaskan tidak ada niatan dari Komisi I DPR RI untuk memberangus kemerdekaan pers.

"Tidak ada niatan kita dari kami untuk memberangus kebebasan tersebut sampai dengan itu bisa mengontrol pers akan kembali ke masa lampau, di mana itu bisanya pembredelan media, pencabutan izin segala macam, hal itu tidak akan terjadi," kata dia.

"Dan pasal-pasal yang mengancam kemerdekaan pers itu pasti tidak akan terlaksana karena kita tujuannya adalah untuk bisa membuka akses informasi kepada seluruh masyarakat," sambung dia.

Menutup sesi tanya jawab dengan Dave tersebut, jurnalis senior sekaligus pakar di bidang hukum dan etika pers Wina Armada Sukardi menilai DPR mempunyai niat untuk mengesahkan RUU penyiaran tersebut sebelum masa jabatan mereka berakhir pada 30 September tahun ini.

Untuk itu, menurutnya komunitas pers perlu melakukam perlawanan yang lebih gigih, masif, dan sistematik.

"Kita tanya, dijawab. Jawabannya itu tidak memberikan jawaban apa-apa. Dan itu harus ditafsirkan memang niat DPR untuk mengesahkan ini sebelum tanggal 30 dengan sebagian besar isinya ya seperti sekarang. Dengan kata lain perlawanan kita harus lebih gigih, lebih sistematik, dan lebih massif. Kira-kira begitu," kata dia.

"Kalau dibiarkan sudah pasti. Jawaban politikus kan begitu. 'Saya tidak pernah bilang tidak, saya tidak pernah bilang, saya hanya bilang kan akan ditampung, saya akan ini'. Itu artinya jawabannya, 'lu boleh ngomong apa aja, tapi yang gua jalanin lain lagi'. Lain di hati, lain di bibir," sambung dia.


Dewan Pers Menolak

Diberitakan sebelumnya, Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu menyatakan pihaknya bersama seluruh konstituen menolak Rancangan Undang-undang (RUU) Penyiaran yang tengah ramai diperbincangkan.

Ia mengkritik penyusunan RUU Penyiaran karena tak memasukkan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dalam konsideran.

"(Ini) mencerminkan bahwa tidak mengintegrasikan kepentingan lahirnya jurnalistik yang berkualitas sebagai salah satu produk penyiaran termasuk distorsi yang akan dilakukan melalui saluran platform," kata dia di Gedung Dewan Pers, Jakarta pada Selasa (14/5/2024).

Selain itu, ia juga memandang RUU Penyiaran menyebabkan pers tidak merdeka, independen, serta tak akan melahirkan karya jurnalistik yang berkualitas.

"Karena dalam konteks pemberitaan, Dewan Pers berpandangan perubahan ini jika diteruskan sebagian aturan-aturannya akan menyebabkan pers menjadi produk pers yang buruk, pers yang tidak profesional dan tidak independen," kata dia.

Menurutnya, proses RUU Penyiaran menyalahi Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yakni penyusunan sebuah regulasi yang harus meaning full patricipation.

"Maknanya apa? Harus ada keterlibatan masyarakat, hak masyarakat untuk didengar pendapatnya, hak masyarakat untuk dipertimbangkan pendapatnya," kata dia.

Ia mengataka Dewan Pers dan konstituen juga tidak dilibatkan dalam proses penyusunan RUU Penyiaran.

Sementara secara substantif, ia menegaskan RUU Penyiaran sangat bertentangan dengan Pasal 4 dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Sebab, lanjut dia, RUU Penyiaran mengatur larangan untuk menyiarkan konten ekslusif jurnalisme investigasi.

"Karena kita sebetulnya dengan UU 40 tidak lagi mengenal penyensoran, pembredelan dan pelarangan-pelarangan penyiaran terhadap karya jurnalistik berkualitas," ungkap Ninik.

Kemudian, terkait penyelesaian sengketa jurnalistik dalam RUU Penyiaran justru akan dilakukan lembaga yang tidak punya mandat terhadap penyelesaian etik karya jurnalistik.

"Mandat penyelesaian karya jurnalistik itu ada di Dewan Pers dan itu dituangkan dalam undang-undang," ungkap Ninik.

Ninik meminta agar penyusunan peraturan perundang-undangan perlu dilakukan harmonisasi agar tidak tumpang tindih.

Terlebih, kata dia, pengaturan penyelesaian sengketa jurnalistik juga diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 32 tahun 2024.

"Pemerintah saja mengakui, kenapa di dalam draf ini penyelesaian sengketa terkait dengan jurnalistik justru diserahkan kepada penyiaran?" imbuh Ninik.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini