Putu menambahkan, pemaknaan Tanah Air itu justru memperkuat kenapa kita menjadi tuan rumah yang penuh makna. Karena dua pertiga dari wilayah kita adalah lautan, sepertiga adalah daratan
Anggota Komisi VI DPR ini memberikan penghormatan setinggi-tingginya kepada para pendiri bangsa, tokoh-tokoh bangsa pendahulu. Karena, kata dia, merekalah yang sejak awal memberi penekanan makna sebuah negara bahwa Indonesia disebut Tanah Air.
“Kita beri respect kepada para pendiri bangsa, sudah dari awal memberi penekanan makna sebuah negara, country itu adalah Tanah Airku Indonesia. Tanah dan air. Mungkin, tidak banyak negara di dunia yang menyebut negaranya itu tanah air. Artinya, penghormatan kita terhadap tanah dan air itu sebenarnya seimbang,” tuturnya.
Putu menyebut isu air tidak bisa dianggap remeh, terlebih kaitannya dengan tantangan global yang saat ini dalam hal perubahan iklim. Data dari World Resources Institute (WRI) Aqueduct Water Risk Atlas, menemukan sedikitnya 25 negara-seperempat dari populasi dunia-terekspos pada tingkat water stress yang sangat tinggi secara menahun.
“Sekitar 4 miliar penduduk, terancam kelangkaan air sedikitnya sebulan sekali per tahun. Pada 2050, angka tersebut dapat meningkat ke 60 persen dari penduduk global. Di Indonesia, khususnya Pulau Jawa, Bali, NTB, hingga Tanimbu (Maluku), pada 2030, diperkirakan mengalami kelangkaan air dari tinggi hingga sangat tinggi. Tantangan terkait water stress ini berlipat, tidak hanya dari perubahan iklim, tetapi juga akibat konflik dan peperangan. Bisa dibilang air ini untuk kesejahteraan dan perdamaian dunia,” ungkapnya.
Data SDGs 2023 dari PBB, lanjut dia, juga masih mencatat miliaran penduduk masih mengalami kekurangan akses ke air minum layak (aman), sanitasi dan higienitas. Sementara di Indonesia, cakupan layanan air minum telah berada di 91,05 persen dengan target pemerintah 100 persen pada 2024 ini.
Baca juga: Putu Supadma Ungkap Kaukus Air DPR Bukti Keseriusan Parlemen Tangani Persoalan Air
“Tetapi akses air minum perpipaan, menurut data Perpamsi baru 19,74 persen (2023). Sisanya adalah akses air minum dari sumber lain seperti galon, air permukaan hingga air tanah. Tentu tanpa pengelolaan atau penyaringan memadai, potensi pencemaran bakteri e-coli sangat tinggi,” jelas dia.
Oleh karenanya, Putu mengatakan ada empat hal yang akan didorong oleh Parlemen Indonesia melalui BKSAP DPR RI yaitu mendorong pembahasan isu air dan sanitasi dalam bingkai pencapaian SDGs khususnya SDG 6 tentang air dan sanitasi.
Menurutnya, hal ini penting karena situasinya adalah hal yang sangat mendasar bagi kebutuhan manusia dan juga dalam upaya mewujudkan target-target pembangunan berkelanjutan.
Kedua, lanjut Putu, BKSAP berkeinginan agar kearifan lokal, kekuatan sejarah adat dalam menghormati air, membuka ruang secara inklusif dan merata bagi komunitas lokal untuk memanfaatkannya menjadi kekayaan tak benda yang dapat diakui pengambil kebijakan. Bahkan, pengambil kebijakan dapat belajar dari kekuatan dan kearifan lokal ini.
Ketiga, Putu mengatakan seiring dengan fenomena perubahan iklim yang semakin tak terbendung, BKSAP ingin melihat dan membahas bersama-sama dengan komunitas parlemen global, mengenai konektivitas kedua isu, dan bagaimana keduanya sangat berpengaruh bagi kehidupan manusia.
“Oleh karenanya, perlu langkah-langkah yang urgen untuk mengatasi tantangan-tantangan yang muncul akibat situasi air dan perubahan iklim,” ucap Putu Rudana.
Selanjutnya, Putu menambahkan agenda yang tak kalah penting yakni keinginan BKSAP untuk mendorong potensi kolaborasi, kerja sama saintifik, peluang-peluang diplomasi air (hydrodiplomacy) untuk koeksistensi antarbangsa. Perspektif diplomasi BKSAP melihat air sebagai komoditas yang mampu menjembatani manusia lintaswilayah, mengingat sifat air yang mengalir, dan alirannya juga tak kenal batas wilayah.
“Berbagai contoh kerja sama pengelolaan air lintasbatas menjadi satu isu yang menarik bila kita kaitkan dengan hydrodiplomacy ini,” jelas Putu.