TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Roy Suryo, pemerhati telematika, multimedia, AI & OCB independen angkat bicara soal kasus pembunuhan Eki dan Vina di Cirebon, Jawa Barat pada 2016 silam.
Roy menyebutkan bahwa selama ini dirinya sengaja menolak untuk berkomentar untuk menjadi narasumber membicarakan kasus tersebut.
"Bagaimana tidak? Kasus yang sebelumnya melibatkan "orang-orang yang bukan siapa2" ini tampak sekali blow-up pemberitaannya. Sudah hampir sebulan ini, tiap malam semua media mainstream memberitakan sampai membuatkan dialog-dialog siaran langsung terus menerus kasus ini. Mulai dari munculnya orang-orang yang bermaksud membela satu pihak versus pihak lainnya, komentator lokal yang bersuara hanya berdasarkan cerita sampai bisa-bisanya kesurupan dijadikan fakta," kata Roy Suryo kepada wartawan, Senin (3/6/2024).
Roy menyebut lebay, sebab sampai-sampai ada TV yang menayangkan topik yang sama selama 2 sampai 3 minggu berturut-turut untuk acara dialog yang disiarkan secara langsung.
"Sampai-sampai dalam edisi minggu lalu tampak seperti mengada-ada, baik topik yang dibahas maupun narasumber-narasumbernya. Belum lagi kelau melihat isi pemberitaannya, tampak tidak ada topik lain yang sebenarnya jauh lebih layak dibahas selain topik ini. Dalam diskusi live tersebut sampai-sampai diskusi hanya berisi debat kusir antar narasumbernya yang sangat konyol dan tidak mencerdaskan bahkan bisa disebut membodohi masyarakat. Padahal sebenarnya sebagaimana yang seharusnya diberitakan, justru sangat banyak topik berita yang jauh lebih penting dibahas dan didiskusikan selain melulu hanya topik ini," kata Roy.
Menurutnya kasus dugaan korupsi timah Rp 271 Triliun yang sampai-sampai terjadi 'saling intip' dua institusi penegak hukum, TAPERA yang sangat memberatkan masyarakat karena sangat tidak masuk akal dan dikhawatirkan hanya akan menjadi ajang korupsi baru, sampai kasus-sampai lain seperti Putusan MA soal batas usia calon kepala Daerah yang sangat tampak ada pesanan oknum tertentu tertutup pemberitaan pembunuhan Vina Cirebon.
Roy menjelaskan, kasus-kasus yang sejatinya lebih penting diatas sebenarnya jauh lebih krusial untuk mendapatkan porsi pemberitaan yng lebih besar dibandingkan dengan hanya mengulang-ulang statemen dari pihak-pihak di kasus yang terjadi tahun 2016 tersebut.
Dampak yang akan dirasakan masyarakat jauh lebih besar akibatnya kalau kasus-kasus dugaan korupsi timah, iutan TAPERA sampai ke Calon Kepala/Wakil Kepala Daerah belum cukup umur lagi yang diloloskan dari Peraturan yang seenaknya diubah tsb.
"Jadi disinilah tampak kalau pemberitaan berlebihan kasus Vina ini malah ditengarai memang digunakan untuk menutup-nutupi kasus-kasus besar tersebut," kata Roy.
Setelah selama ini topik yang dibahas tampak "jauh panggang dari fakta" misalnya hanya berdasar ilusi film yang sengaja dibuat berjudul "Vina Sebelum 7 Hari", kejadian halusinasi "Kesurupan" yang tidak bisa dijadikan fakta hukum, sampai ke munculnya nama-nama baru yang berani mengaku sebagai "Saksi-saksi Fakta" kasus yang terjadi tanggal 27 Agustus 2016 silam tsb.
Kini mulai muncul bukti baru berupa screenshot/tangkapan-tangkapan Layar CCTV (Close Circuit TeleVision) yang disebut-sebut berasal dari kasus tersebut.
Screenshot-screenshot yang masih berupa kolase ini memang belum bisa diuji kebenarannya, apalagi disebut-sebut hanya berasal dari pihak ketiga yang memposting di Akun TikTok dan IG.
CCTV yang belum bisa diuji kebenarannya ini memang penting untuk ditandaskan sebelumnya, karena seharusnya CCTV yang bisa digunakan sebagai Alat Bukti--sesuai Pasal 5 dan 6 UU ITE--adalah bukan hanya berupa screenShot-screenShot saja tetapi rekaman video utuh yang bisa diputar untuk dianalisis kualitas video dan metadata asli CCTV tsb.
Secara teknis rekaman CCTV dalam DVR/Digital Video Recorder biasanya memang bertahan 1-2 bulan (kalau harddisknya berkapasitas 500GB sd 1TB saat itu).