Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar hukum tata negara sekaligus mantan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan, kasus dugaan penguntitan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) oleh anggota Densus 88 Antiteror merupakan tanggung jawab presiden.
Untuk menyelesaikan kasus tersebut menurutnya pimpinan lembaga pemerintah terkait harus memberikan penjelasan ke punlik dengan gamblang.
"Harusnya dijelaskan. Kan ada pejabat yang berwenang untuk mengcelarkan ini. Kalau di tingkat Menko belum bisa, ya ke presiden langsung. Kan itu semua tanggung jawab presiden," kata Mahfud di kanal Youtube Mahfud MD Official pada Selasa (4/6/2024).
Menurut Mahfud, kasus dugaan penguntitan itu sesuatu yang sangat aneh.
Karena menurut penejalasan mantan Kepala BNPT Irjen Pol (Purn) Ansyaad Mbai, kata Mahfud, tugas utama anggota Densus adalah mengurusi terorisme, bukan korupsi.
Baca juga: Profil Jampidsus Kejagung Febrie Adriansyah yang Kerap Bongkar Mega Korupsi, Teranyar Kasus Timah
Dalam menjalankan tugas tersebut, kata Mahfud, anggota Densus 88 harus jelas surat tugas dan masalah yang ditanganinya.
Sehingga, dalam kasus dugaan penguntitan tersebut, menurut Mahfud anggota Densus 88 Polri tersebut melakukan pelanggaran disiplin yang sangat berat karena diduga menguntit salah satu pimpinan Kejaksaan Agung.
Menurut penjelasan Ansyaad, kata Mahfud, dugaannya kasus penguntitan tersebut ada kaitannya dengan mafia timah dan momentum menjelang pergantian pemerintahan.
"Karena rezim politik akan berubah sekarang, ini akan mulai disingkirkan orang-orang yang sekarang menjadi mafia dan dibackup itu. Sehingga lalu dilakukan dengan cara itu. Agar orang-orang tertentu bisa ditangkap, lalu owner mafia ini bisa diganti pada saat nanti terjadi pergantian pemerintahan. Ini penjelasannya Ansyaad Mbay. Jelas ini saya ikuti di media," kata Mahfud.
Baca juga: Anak SYL Menangis di Sidang Ayahnya, Tak Dinyana Dibalas Kalimat Menohok dari Hakim
Untuk itu, menurutnya, anggota Densus 88 tersebut harus diinterogasi dan dijelaskan ke publik.
Selain itu, peristiwa konvoi kendaraan di depan kantor Kejaksaan Agung juga perlu dijelaskan untuk memberikan ketentraman kepada masyarakat.
"Ini yang harus dijelaskan kepada masyarakat. Masyarakat ini kan harus diberi ketenteraman. Kalau hal begini, Kejaksaan Agung saja kena, apalagi yang bukan kejaksaan agung. Orang kan akan berkata seperti itu?" Kata dia.
"Ini yang ditangkap saja munculkan, periksa, lalu munculkan keterangannya ke publik. Saya 'ditugaskan oleh ini untuk ini'," sambung dia.
Ia pun mengungkap kejanggalan hubungan antara Polri, Kejaksaan Agung saat menjabat sebagai Menko Polhukam.
Untuk itu, ia mencontohkan kasus pemulangan buronan kasus korupsi Djoko Tjandra dari Malaysia.
Saat itu, ia mengaku harus menelpon Kapolri dan Jaksa Agung berjam-jam agar Djoko Tjandra bisa diserahkan ke Kejaksaan Agung mengingat status penahanannya yang akan habis dalam 1 x 24 jam.
"Tahu nggak? Itu pulang jam 11 malam. Sampai jam 7 malam besok harinya belum diserahkan. Saya yang menyelesaikan lewat telepon terpaksa. Bicara pada Idham Azis (Kapolri pada saat itu), Kejaksaan Agung juga kontak saya bagaimana Pak ini, belum diserahkan? Sehingga akhirnya diserahkannya sudah hampir habis deadlinenya. Saya tidak tahu kenapa tidak diserahkan," kata dia.
"Saya mengendalikannya itu saya sedang ada di Malang. Jadi saya mulai jam 5 sore sampai jam 7 malam itu telponan dengan Pak Idham Azis, Pak Jaksa Agung, Bareskrim, dan sebagainya agar itu diserahkan. Karena kalau tidak jam 11 diserahkan, harus dilepaskan lagi Joko Candra waktu itu. Bukan cerita baru," sambung dia.
Selain itu, kejanggalan hubungan tersebut pun muncul dalam kasus pelapor kasus korupsi seorang kepala desa, Nurhayati, yang kemudian malah menjadi tersangka.
Saat itu, kata Mahfud, jaksa penuntut umum menyarankan dan meminta bukan hanya kepala desa yang tersangka melainkan juga Nurhayati karena dianggap membiarkan kepala desanya korupsi selama kurang lebih dua tahun.
Polisi, kata dia, kemudian menjadikan Nurhayati tersangka.
Baca juga: Terungkap, Bos Timah Aon Cuci Uang Hasil Korupsi Lewat Suami Sandra Dewi dan Crazy Rich PIK
Hal tersebut, kata dia, kemudian membuat gaduh publik.
"Apa yang terjadi? Saya teriak waktu itu, lho itu nggak benar dong secara subtansi, mens rheanya (niat jahatnya) apa? Kejaksaan tolong dilepas. Mereka bilang, karena kami sudah dapat dari polisi dan sudah memenuhi syarat. Saya bilang ke polisi, Pak Polisi tolong dong dilepas. Nggak bisa, kan yang minta jaksa. Sampai ribut seluruh Indonesia, mau datang ke kantor saya," kata dia.
"Akhirnya saya telponan dari jam 10 sampai jam 4 sore. Baru malamnya lepas. Sepertinya ini kurang koordinasi. Itu masalah kecil, masalah Nurhayati, bukan masalah korupsi yang besar. Hanya beberapa lah korupsi setiap bulan. Sebagai sebuah contoh kecil. Maksud saya memang ada masalah," sambung dia.
Ia pun mengungkit kasus Cicak vs Buaya di mana saat ia menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi muncuk desas-desus adanya upaya rekayasa untuk melumpuhkan KPK dengan menersangkakan pimpinannya.
"Cara apa yang ditempuh pada waktu itu? Yaitu dua orang KPK dijadikan tersangka, Bibit Samad dan Candra Hamzah. Kalau dua orang ini dijadikan tersangka, sementara Antasari ketuanya sudah tersangka berarti KPK lumpuh menurut hukum," kata dia.
"Karena apa? Keputusan komisioner untuk menentukan seorang itu tersangka dan seterusnya itunharus ditandatangani srcara sah oleh minimal tiga orang. Ini tinggal dua karena Antasari sudah jadi tersangka sementara Bibit Samad dan Candra Hamzah tersangka," sambung dia.
Untuk itu, ia mengatakan bertemu dengan presiden SBY saat itu dan menyampaikan terkait hal tersebut.
SBY, kata dia, lalu mengeluarkan Perppu Nomor 4 Tahun 2009 untuk mengakhiri polemik 'Cicak versus Buaya' Jilid I.
Namun, Perppu tersebut ditolak oleh DPR.
"Saya yang turun tangan. Apa buktinya? Bahwa di situ terjadi rekayasa untuk menersangkakan dua orang yaitu Bibit Samad dan Candra Hamzah untuk melumpuhkan KPK," kata dia.
"Apa buktinya rekayasa? Rekaman. KPK sendiri tidak berani ketika saya minta rekamannya. Saya tahu itu ada rekamannya. Karena saya dapat laporan, rekamannya ada bahwa rekayasa. Nggak berani. Saya pun diancam. Ini Ketua MK diancam. Kalau nanti sampai detail di MK, mau dirampas karena itu ilegal. (Diancam) polisi. Di televisi juga ada," sambung dia.
Baca juga: 4 Menteri Jokowi Masuk Radar PDIP Jadi Calon Gubernur di Pilkada Jakarta 2024, Ada Politikus Senior
Akhirnya, kata dia, ketika rekaman tersebut pada akhirnya diungkap dalam sidang dan rekayasa tersebut terbukti, semua orang terperanjat.
"Semua orang terperanjat di situ. Wakil JA nya, pengacarany, polisinya, sudah bersiasat agar Candra Hamzah ini kalau perlu dihabisi saat ditahan itu. Sudah ada pembicaraan itu," kata dia.
Akhirnya, kata dia, penahanan dua pimpinan KPK Bibit Samad Riyanto dan Candra Hamzah dinyatakan tidak sah.
"Karena apa? Karena saya memutuskan ketentuan UU yang menyatakan bahwa orang pimpinan KPK yang dinyatakan tersangka harus berhenti dari jabatannya, dinyatakan inkonstitusional. Sebelum ada putusan pengadilan, dia tetap dalam jabatannya. Keluar dua orang ini. Jalan akhirnya perkara Anggodo. Jalan, masuk penjara juga," kata dia.
"Maksud saya, polisi dengan kejaksaan, polisi dengan KPK waktu itu berhadap-hadapan. Dan ternyata sekarang belum hilang rasanya kalau kita lihat kasus jampidsus dikuntit ini," sambung dia.
Untuk itu, menurutnya tanggung jawab paling utama untuk menjelaskan dan meminta kasus dugaan penguntitan jampidsus oleh anggota Densus 88 tersebut dibuka, ada pada presiden.
Akan tetapi, kata dia, sebelum ke presiden ada Menko Polhukam.
"Kenapa menko tidak panggil keduanya? Dulu saya begitu. Panggil. Kalau misalnya bilang tidak mau ketemu berdua, ya satu-satulah. Karena sering dalam banyak hal, Kapolri dan JA itu tidak mau bertemu dalam satu forum, kecuali dalam sidang kabinet," kata Mahfud.
Pernyataan Polri
Polri sebelumnya membenarkan soal adanya anggota Densus 88 Antiteror Polri, Bripda Iqbal Mustofa yang diamankan di Kejaksaan Agung terkait kasus penguntitan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Febrie Adriansyah.
Kepolisian mengatakan anghota Densus tersebut telah dijemlut Paminal Polri dan sudah diperiksa Divpropam Polri.
"Jadi memang benar ada anggota yang diamankan di Kejaksaan Agung dan sudah dijemput Paminal dan sudah diperiksa oleh Divpropam," kata Kadiv Humas Polri Irjen Sandi Nugroho dalam jumpa pers di Mabes Polri, Jakarta, Kamis (30/5/2024).
Baca juga: PDIP Pastikan Hasto Penuhi Panggilan KPK terkait Buronan Harun Masiku Pekan Depan
Meski begitu, Sandi mengatakan jika kasus tersebut sudah selesai karena tidak ada permasalahan apapun lagi antara Polri dan Kejaksaan Agung.
Hal ini juga selaras dengan pemeriksaan Divisi Propam Polri yang menyatakan tidak ada masalah dengan apa yang dilakukan oleh Bripda Iqbal.
“Kami mendapat informasi bahwa Anggota tersebut sudah diperiksa dan tidak ada masalah,” jelasnya.
Sehingga, Sandi berucap jika Bripda Iqbal tidak diberikan sanksi apapun dalam kasus penguntitan ini.
"Kalau hasil pemeriksaannya tidak ada masalah berarti dari sisi disiplin etika dan pelanggaran lainnya juga tidak ada. Maka sampai pada pemeriksaan itu selesai kami mendapatkan informasi seperti itu," tuturnya.
Sikap Kejaksaan Agung
Kejaksaan Agung memilih lepas tangan atau tak lagi ikut campur terkait penguntitan Jampidsus oleh oknum anggota Densus 88 Antiteror Polri.
Kapuspenkum Kejaksaan Agung menyatakan bahwa hal itu sudah menjadi tanggung jawab Polri sepenuhnya.
"Kita kan sudah menyerahkan kemarin sama mereka. Sudah tanggung jawab mereka sana," kata Ketut melalui sambungan telepon.
Kejaksaan Agung mengaku kini sudah tak ada lagi koordinasi ke pihak Polri mengenai peristiwa penguntitan yang terjadi sekira pertengahan Mei lalu.
"Enggak(koordinasi). Ngapain. Kan sudah menyerahkan sepenuhnya," kata Ketut.
Ia lun mengaku tak mengikuti lagi update atau perkembangan kasus penguntitan Jampidsus itu.
Hal tersebut termasuk soal pendalaman yang kabarnya tengah dilakukan Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam).
"Ya saya enggak tahu. Kan yang menyebut mereka," kata dia.
Kata Presiden
Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebelumnya juga telah merespon soal isu Anggota Densus 88 yang menguntit Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung, Febrie Adriansyah.
Ia mengaku telah memanggil Jaksa Agung St Burhanuddin dan Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo menanyakan hal tersebut.
"Sudah saya panggil tadi," kata Jokowi usai menghadiri acara Inaugurasi Kepengurusan GP Ansor di Istora, Senayan, Jakarta pada Senin, (27/5/2024).
Jokowi tidak menjelaskan hasil pemanggilan tersebut.
Menurutnya, hal itu sebaiknya ditanyakan kepada Kapolri.
Presiden meminta awak media menanyakan langsung kepada Kapolri yang berada di sisi kirinya.
"Tanyakan langsung ke Kapolri. Tanyakan ke Kapolri langsung," kata dia.
Sementara itu, Kapolri hanya tersenyum saat ditunjuk oleh Jokowi tersebut.
Di kesempatan terpisah Kapolri mengatakan tidak ada masalah antara Polri dengan Kejaksaan Agung.
"Intinya tidak ada apa apa," kata dia.
Respons Menko Polhukam
Menko Polhukam Hadi Tjahjanto sebelumnya menyampaikan kasus dugaan penguntitan Jampidsus Kejaksaan Agung (Kejagung), Febrie Adriansyah oleh Densus 88 Antiteror Polri tengah diselidiki.
“Dengan isu yang tadi disampaikan bahwa saat ini terus dilakukan pendalaman dilakukan penyelidikan apa yang terjadi, yang sebetulnya,” kata Hadi usai menghadiri Rakernis Intelkam Polri di kawasan Jakarta Selatan pada Selasa (28/5/2024)
Namun, ia mengatakan proses penyelidikan tetap dilakukan dengan tetap saling menjaga marwah masing-masing institusi selaku aparat penegak hukum.
"Karena tugasnya adalah criminal justice sistem itu tetap harus terjaga. Sehingga pendalaman ini terus kita lakukan karena marwahnya ini sangat diperlukan untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan kriminal," kata dia.
Ia juga mengaku telah berbicara kepada Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan Jaksa Agung ST Burhanuddin agar tetap fokus dalam menjalankan tugas masing-masing lembaga sesuai arahan Presiden Joko Widodo.
"Kita lihat nanti hasil pendalamannya dan saya yakin deh lihat pak Kapolri pak Jaksa Agung juga kesana sini juga bersama dengan saya juga iya . Saya kir permasalahan-permasalahan itu bisa diselesaikan. Namun saat ini masih dalam penyidikan pendalaman," kata Hadi.