News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

4 Kritikan Mahfud MD: Soal Batas Usia Calon Gubernur, Kisruh Kepolisian & Kejagung hingga Kasus Vina

Penulis: Fransiskus Adhiyuda Prasetia
Editor: Dewi Agustina
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Mahfud mengatakan ciri pemerintahan yang otoriter mulai terlihat belakangan ini dengan berkaca dari tindak tanduk lembaga eksekutif yang mencampuri legislatif dalam membuat aturan.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Guru Besar Hukum Tata Negara, Mahfud MD menjadi pembicara utama dalam Sekolah Hukum PDI Perjuangan yang digelar oleh DPP PDIP di Sekolah Partai, Lenteng Agung, Jakarta, Jumat (14/6/2024).

Kehadiran Mahfud MD untuk memberikan pembekalan terkait hukum kepada kader PDI Perjuangan.

Dalam kesempatan itu, Mahfud mengatakan ciri pemerintahan yang otoriter mulai terlihat belakangan ini dengan berkaca dari tindak tanduk lembaga eksekutif yang mencampuri legislatif dalam membuat aturan.

Contohnya, kata Mahfud, legislatif terlihat hanya menjadi lembaga rubber stamp atau tukang stempel dari keinginan eksekutif.

Baca juga: Ditantang Mahfud MD Buktikan Omongannya soal Kasus Vina Cirebon, Habiburokhman: Pak Mahfud Peace

Dimana, lembaga legislatif terlihat hanya sekadar menjadi pengusul undang-undang yang diinginkan rezim.

"Kita jangan teledor bahwa ini, perilaku-perilaku begini sudah muncul. Eksekutifnya intervensionis. Masuk ke sana, masuk ke sana, pakai bansos, pakai apa, pokoknya masuk. Enggak bisa baik-baik, injak kakinya," kata Mahfud, Jumat.

Acara Sekolah Hukum diikuti pula oleh Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri dan ribuan kader parpolnya secara daring.

Mahfud mengungkapkan otoriterianisme di suatu negara bakal menghasilkan hukum bersifat ortodoks konservatif. Artinya, pembuatan aturan bersifat sentralistik dan diatur dari pusat.

Selain itu, ortodoks konservatif membuat hukum menjadi semacam pembenaran terhadap keinginan penguasa atau positivistik instrumentalistik.

"Sesuatu yang diinginkan itu dijadikan instrumen pembenar, dipositifkan menjadi hukum positif. Saya ingin umur calon kepala desa sekian. Lho enggak bisa, pak, ya (dipaksa) dipositifkan bagaimana caranya, suruh DPR ubah, suruh KPU, suruh pengadilan, langgar semua prosedur yang tersedia," kata Mahfud mencontohkan hukum jadi pembenar keinginan.

"Dahulu, tahu, anak seorang lurah ingin punya pabrik mobil, bagaimana? Anda punya uang? Positifkan saja, masukkan di GBHN. Presiden Soeharto sebagai mandataris MPR diwajibkan memajukan mobil nasional, membentuk perusahaan mobil nasional agar Indonesia mandiri."

Baca juga: Baru Sekali Nimbrung di Kasus Vina, Mahfud MD Langsung Dibuat Bungkam Gerindra: Sudah Game Over

"Itu perintah dari GBHN, jadi suruh sendiri, suruh perintahkan, sesudah itu diteken perpres-nya, mobil nasional diberikan kepada PT ini dengan bebas pajak lokal dan sekian persen pajak luar, pajak dari bahan-bahan luar, jadi enak dong, pasti untung, maksudnya hanya ada untungnya. Itu namanya positivistik instrumentalistik," kata dia mencontohkan lagi soal hukum jadi pembenar keinginan.

Mahfud melanjutkan ciri negara yang demokratis sangat berbeda jauh dengan kekhasan pemerintahan otoriter.

Ciri negara demokratis, kata dia, legislatif menjadi penentu dalam membuat perundang-undangan dengan melibatkan aspirasi rakyat, bukan kehendak elite semata.

"Legislatif menjadi penentu. Legislatif itu menentukan. Bukan menentukan, tetapi diam-diam dicokok. Kamu menentukan, tetapi disuruh menentukan. Ini, lo, yang kamu tentukan. Dipesan. Itu tidak demokratis," ujarnya.

Mahfud mengatakan ciri lainnya ialah interpretasi hukum yang dibatasi. Contohnya, dari sisi pemilu diatur sampai hal teknis kampanye.

"Tafsir implementatif-nya dibatasi. Enggak boleh sembarang kamu tafsirkan hukum. Ini undang-undang sudah berbunyi begini, kamu jangan buat tafsir ngawur. Oleh sebab itu, lalu ada cara-cara menafsirkan hukum di dalam ilmu perundang-undangan itu, agar tafsir implementasi hukum itu tidak sewenang-wenang," jelas dia.

Kritikan Mahfud

Diketahui, Mahfud MD selepas purna menjadi Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) dan calon wakil presiden (Cawapres) pada Pilpres 2024, lebih banyak mengisi kegiatan di sejumlah kampus-kampus.

Belum lama, Mahfud juga menjadi pembicara pada acara peringatan hari lahir ke-41 Universitas Islam Kadiri, di Kediri, Jawa Timur.

Tak hanya menjadi pembicara, Mahfud kini semakin vokal menyerukan dan mengkritik sejumlah keputusan hukum yang dinilai tidak sesuai aturan.

Baca juga: LPSK akan Beri Perlindungan Darurat Saksi dan Keluarga Vina, Ini Syaratnya

Soal Batas Usia Calon Gubernur/Wagub

Hal yang menjadi sorotan akhir-akhir ini oleh Mahfud MD adalah putusan Mahkamah Agung (MA) mengubah batas usia calon gubernur dan wakil gubernur untuk Pilkada serentak 2024.

Mahfud MD mengatakan, dari putusan tersebut sudah jelas banyak menyalahi undang-undang.

Salah satunya Mahkamah Agung tidak berhak memutus ketentuan undang-undang yang sudah dibuat DPR RI.

Adapun lembaga yudikatif yang berhak merubah undang-undang hanyalah Mahkamah Konstitusi (MK).

Oleh karenanya, Mahfud MD mengaku sudah bingung mencari cara memperbaiki tata negara yang menurutnya sudah terlanjur rusak.

Menurut Mahfud MD, kebusukan-kebusukan yang terjadi saat ini dibiarkan saja hingga runtuh dengan sendirinya.

"Negara ini cara berhukumnya sudah rusak dan dirusak, sehingga saya sudah malas bicara yang begitu-begitu," kata Mahfud.

"Biar saja tambah busuk tambah busuk dan pada akhirnya kebusukan itu akan runtuh sendiri kan suatu saat. Kalau begini-begini diteruskan ya sudah teruskan saja, apa yang mau kau lakukan lakukan saja, mumpung anda masih punya posisi untuk melakukan itu," terang Mahfud.

"Tapi suatu saat itu bisa akan memukul dirinya sendiri ketika orang lain menggunakan cara yang sama untuk melawan orang yang suka memakai cara seperti itu," imbuh Mahfud MD.

Korupsi, Kolusi dan Nepotisme

Pria kelahiran Sampang, 13 Mei 1957 ini juga terus bersuara soal praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang terjadi belakangan ini.

Menurutnya, perlu ada langkah hukum yang serius dari penegak hukum dalam melakukan pemberantasan KKN.

Mahfud yang pernah mendapat julukan ‘Pendekar Hukum’ ini juga juga aktif mengunggah sejumlah kegiatannya di media sosial, instagram.

Bahkan, banyak momen yang dia bagikan mulai dari sarapan pagi sambil berdiskusi, berolahraga hingga melakukan perjalanan ‘napak tilas’ ke Kota Ende untuk melihat jejak Presiden Pertama RI, Ir Soekarno atau Bung Karno merumuskan Pancasila.

Kisruh Kepolisian dan Kejaksaan Agung

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini turut mengomentasi soal kisruh Kepolisian dan Kejaksaan Agung RI.

Dimana, sebelumnya Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Febrie Ardiansyah kedapatan dikuntit oleh Anggota Densus 88 Anti Teror Polri.

Febrie diketahui tengah mengusut kasus korupsi Tambang Timah yang menyeret sejumlah orang.

Mahfud pun mengungkapkan, bahwa Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan Jaksa Agung ST.

Burhanuddin tak pernah bertemu dalam satu forum. Keduanya, hanya bertemu ketika ada rapat kabinet yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Kasus Vina

Mantan pasangan Ganjar Pranowo pada Pilpres 2024 ini juga menyoroti kasus pembunuhan Vina di Cirebon Jawa Barat.

Sebab, dia menilai pengusutan kasus tersebut terkesan lama dan tidak menemukan titik terang hingga hampir 10 tahun ini.

Mahfud bahkan menduga, penyidik kepolisian yang menangani kasus Vina Cirebon tidak profesional. Dia juga menyebut ada permainan dalam kasus ini.

"Ini bagian dari penyimpangan. Saya tidak tahu persis kasus Vina, tetapi konstruksi kasusnya begini. Dulu ada tersangka 10/11 kan untuk pembunuhan Vina. Lalu diajukan ke pengadilan itu berita acaranya ada 10 atau 11 orang diajukan ke pengadilan, yang 3 lari, yang 8 sudah dihukum. Nah, sesudah muncul Vina sebelum 7 hari itu, lalu kasus ini muncul lagi," kata Mahfud.

"Dulu lari itu kemana orang gitu, itu kan resmi diumumkan buron 3 orang namanya abcd. Nah, ini baru muncul kasus ini, sehingga saya berpikir ini bukan sekadar unprofessional tetapi memang ada permainan," sambung dia.

Mahfud lantas menyoroti soal perkembangan kasus Vina terkait sikap kepolisian yang justru mengurangi jumlah daftar pencarian orang (DPO) dari 3 menjadi 1 orang.

"Konyolnya lagi, padahal dulu resmi di dalam berita acara, resmi di dalam rilis yang diumumkan itu bahwa buron 3 orang. Sekarang sudah mulai ketahuan ada 2 masalah. Satu, Pegi ditangkap sementara mulai muncul kesaksian bahwa orangnya bukan itu, dan Pegi nya sendiri mengaku ndak tahu. Pegi yang ditangkap apakah Pegi ini namanya yang sekarang ada, apakah ini bukan sekadar kambing hitam," ucap Mahfud.

"Lalu yang kedua, yang 2 orang yang buron ini, kok sekarang dibilang dulu salah sebut, mana ada orang sudah menyelidiki sekian lama kok salah sebut," pungkasnya. (Tribun Network/Yuda)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini