News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Kerap Provokasi, Tiongkok Jadi Ancaman Nyata di Laut China Selatan, Indonesia Harus Bersikap Tegas

Penulis: Choirul Arifin
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Seminar ‘Ancaman China di Laut China Selatan: Antara Persepsi dan Realita,” yang diselenggarakan Pusat Studi G20 Universitas Pelita Harapan (UPH) bersama Forum Sinologi Indonesia (FSI) di Jakarta, Jumat, 21 Juni 2024.

“Dengan memegang prinsip, Indonesia akan memainkan peran yang besar di kancah regional dan internasional,” kata Amelia.

Dosen Magister Ilmu Komunikasi UPH yang juga Ketua Forum Sinologi Indonesia (FSI) Johanes Herlijanto, Ph.D. mengatakan, pemahaman responden dalam survei ISDS memperlihatkan bahwa masyarakat Indonesia sangat sensitif dan menentang setiap upaya pihak luar mempengaruhi kemandirian negara dan pemerintah Indonesia melalui cara apapun.

Johanes Herlijanto berpandangan, persepsi China sebagai ancaman dapat ditelurusi hingga ke pertengahan abad yang lalu.

Dosen Magister Ilmu Komunikasi UPH yang juga Ketua Forum Sinologi Indonesia (FSI) Johanes Herlijanto, Ph.D. (paling kanan) di seminar ‘Ancaman China di Laut China Selatan: Antara Persepsi dan Realita,” yang diselenggarakan Pusat Studi G20 Universitas Pelita Harapan (UPH) bersama Forum Sinologi Indonesia (FSI) di Jakarta, Jumat, 21 Juni 2024.

“Persepsi China sebagai ancaman sangat dominan di era pemerintahan Orde Baru, dan terus bertahan hingga rezim tersebut berakhir,” ujarnya.

Dia mengatakan, salah satu penyebabnya adalah kecurigaan bahwa China telah melakukan intervensi dan mencampuri urusan dalam negeri Indonesia dengan memberikan bantuan pada Partai Komunis Indonesia (PKI) melakukan kudeta yang gagal pada tahun 1965.

“Sekitar satu dasawarsa setelah runtuhnya rezim Orde Baru, tepatnya di zaman pemerintahan Presiden Yudhoyono, persepsi terhadap China di kalangan publik di Indonesia, khususnya kelas menengah, bergeser menjadi positif,” jelas Johanes.

"China sejak zaman Orde Baru dipersepsikan sebagai negara yang ekspansif. China juga dipersepsikan terlibat dalam Gerakan 30 September oleh PKI di Indonesia di tahun 1965," ungkap Johanes.

Di masa lalu, invasi kapal Kubilai Khan dari Kerajaan Mongol ke Pulau Jawa dianggap representasi sikap invasif China.

Di masa pemerintahan SBY, persepsi tentang China berangsur berubah positif. China dipersepsikan sebagai kekuatan yang 'friendly' bagi Indonesia. Saat itu terjadi perubahan narasi sejarah, dari invasi Kerajaan Mongol ke perjalanan muhibah Zheng He," bebernya.

Namun, persepsi negatif kembali mendominasi pandangan publik tentang China sejak tahun 2015.

“Penyebabnya antara lain adalah berkembangnya media baru yang membuka arus informasi terkait tingkah laku China di dunia internasional, makin intensifnya hubungan ekonomi Indonesia China yang diwarnai dengan berbagai isu termasuk isu pekerja migran dan kekhawatiran terhadap ketergantungan Indonesia terhadap China, dan sikap China yang makin agresif dan asertif di Laut China Selatan, termasuk di ZEE Indonesia dekat Kepulauan Natuna,” beber Johanes.

Menurut Johanes, hadirnya pandangan kritis dan persepsi negatif terhadap China, termasuk persepsi China sebagai ancaman di Laut China Selatan, perlu direspons secara bijak oleh Indonesia.

“Pemerintah Indonesia perlu mempertahankan kehati-hatian dalam menjalankan kerja sama ekonomi dengan China, sambil tetap menjaga (atau bahkan meningkatkan) sikap tegas, khususnya dalam hal yang berhubungan dengan kedaulatan dan kemandirian Indonesia,” katanya.

China Klaim Sepihak Wilayah ZEE Indonesia

Dr Surya Wiranto menegaskan, ada perbedaan antara kedaulatan dan hak berdaulat.

Halaman
1234
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini