News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Kematian Vina Cirebon

IPW Sebut Pengungkapan Kasus Vina dan Eky Sudah Rusak Sejak 'Lahir' 

Editor: Anita K Wardhani
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) periode 2019-2024 Edwin Partogi Pasaribu memberikan penelusuran dan analisanya terkait kasus kematian Vina dan Eky di Cirebon. Hal itu disampaikan Edwin Partogi Pasaribu saat sesi wawancara eksklusif dengan Direktur Pemberitaan Tribun Network, Febby Mahendra Putra di Studio Tribunnews, Palmerah, Jakarta, Rabu (10/7/2024) malam.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santoso menyoroti perkara tewasnya Vina dan Eky asal Cirebon yang memasuki babak baru.

Di mana, Pengadilan Negeri Bandung memutus pra-pradilan yang diajukan Pegi Setiawan atas penetapan tersangka oleh Polda Jawa Barat.

Baca juga: LIVE Mantan Kapolda Jabar Akui Khilaf di Kasus Vina, Bareskrim Polri Mulai Tindak Aep

Hakim Tunggal Eman Sulaeman memutus, bahwa penetapan tersangka Pegi Setiawan atas dugaan pembunuhan Vina dan Eki menyalahi prosedur. Sehingga, Pegi Setiawan harus dibebaskan.

Sugeng pun mengatakan, bahwa pengungkapan kasus tewasnya Vina dan Eky pada tahun 2016 lalu, sudah rusak sejak awal.

Hal itu terbaru, kata Sugeng dari penetapan tiga orang yang masuk daftar pencarian orang (DPO) oleh Polda Jabar, hanya satu yang ditangkap dan ditetapkan tersangka, yakni Pegi Setiawan.

Sedangkan, dua DPO lainnya yakni Dhani dan Andika atau Dika dinyatakan fiktif.

Hal itu disampaikan Sugeng saat sesi wawancara khusus dengan Direktur Pemberitaan Tribun Network, Febby Mahendra Putra di Studio Tribunnews, Palmerah, Jakarta, Rabu (10/7/2024) malam.

"Pandangan saya pertama ini, kasus ini sudah rusak dari awal. Jebret lahir sudah rusak. Jebret lahir dalam arti ketika lahirnya proses penyidikan terhadap 8 orang. Yang dibilang 11, tapi yang terakhir ini sudah rusak," kata Sugeng.

Sugeng pun kembali mengulas soal kerusakan perkara ini sejak awal. Menurutnya, terjadi pelanggaran prosedur serta pelanggaran hak asasi manusia, kerena terduga pelaku dianiaya.

Dia pun menyebut, Iptu Rudiana yang merupakan ayah Eky membuat laporan ke Polisi. Dimana, dalam BAPnya menyatakan sudah menemukan 11 orang, dan 8 orang telah mengaku sebagai pelaku pembunuhan Vina dan Eky.

"8 orang mengaku sebagai pelakunya, berarti sudah ditangkap nih. Yang nangkap siapa? Rupanya dia sendiri. Padahal kalau dia sebagai polisi, waktu itu kan polisi narkoba ya. Ini harus dilakukan oleh Reskrimum, bukan narkoba. Dan harus melalui proses penyelidikan dan penyidikan," ujar Sugeng.

Muncul sosok saksi lain kasus Vina yang diduga memberikan keterangan palsu. (Tribunnews.com)

Sugeng pun mempermasalahan penangkapan para terduga pelaku saat itu oleh Iptu Rudiana. Padahal, sesuai aturan dan kewenangan, bahwa sebelum melakukan penangkapan, harus dilakukan olah tempat kejadian perkara (TKP) hingga meminta keterangan sejumlah saksi.

"Nah, waktu menangkap pertanyaannya, dasarnya apa? Perasaan kah, nujum, ilham dari dukun atau memang Rudiana sebagai polisi punya kemampuan mendeteksi keberadaan pelaku. Tetapi itu semua kan tidak boleh. Harus tetap prosedur. Jadi tadi sidik olah TKP visum etripertum kemudian meminta keterangan saksi-saksi," papar Sugeng.

"Lah, dia baru diperiksa sudah ada yang ditangkap. Ini kesalahan prosedur. Sudah rusak dari awalnya," jelasnya.

Dia pun menyorot soal pemyidikan oleh Propam Polri serta Irwasum terhadap perkara ini. Dimana, keduanya menilai tidak ada kesalahan prosedur.

"Jadi, kalau menurut saya tidak begitu ya. Yang disampaikan oleh institusi Polri itu untuk di depan publik itu menurut saya ada dasar dan juga untuk membela institusi ya," kata Sugeng.

Sementara itu, Sugeng pun memuji Hakim Tunggal Eman Sulaeman yang memutus pra pradilan Pegi Setiawan. Dia menilai, Hakim harus menunjukan bahwa adanya prosedur yang tidak sesuai dalam penetapan tersangka Pegi.

Selain itu, dia juga menilai bahwa dukungan publik yang kuat menjadi dasar Hakim Eman berani mengambil keputusan itu.

Wawancara Eksklusif Tribunnews.com dan Ketua IPW Terkait Kasus Vina dan Eky

Berikut petikan wawacara Sugeng Teguh Santoso dengan Direktur Pemberitaan Tribun Network, Febby Mahendra Putra terkait perkara tewasnya Vina dan Eky pacsaputusan PN Bandung terhadap Pegi Setiawan:

Yang paling kontroversial adalah kemarin putusan penadilan tuh, pra-pradilan di PN Bandung bisa ditaksirkan bahwa Pegi Setiawan ini orang yang salah?

Antiklimak buat polisi.

Salah nangkep lagi kira-kira gitu lah.
Yang 8 orang itu dianggap salah, ya, dengan kemudian ada 3 DPO, DPO-nya nangkep yang salah?

Iya ini antiklimak ya buat kepolisian saya melihat ya. Jadi prihatin, kalau prihatin itu ya sudah campur-campur lah.

Artinya kita berharap polisi yang memang polisi Indonesia sebetulnya tuh ahli yang mampu ya, tapi justru mengalami antiklimak, salah tangkap lagi. Nah pandangan saya pertama ini, kasus ini sudah rusak dari awal.

Oh sejak awal ya? Sejak 8 tahun yang lalu ya?

Jebret lahir sudah rusak. Jebret lahir dalam arti ketika lahirnya proses penyidikan terhadap 8 orang. Yang dibilang 11, tapi yang terakhir ini sudah rusak.

Gara-gara apa ini Pak Sugeng?

Ya melanggar prosedur. Pelanggaran hak asasi manusia karena ada dianiaya. Pelanggaran prosedurnya tuh begini ya, kan Eky dan Vina ditemukan 27 Agustus malam hari.

Eky sudah meninggal dunia, Vina masih hidup dibawa ke rumah sakit oleh Suroto, kalau tidak salah nama Suroto ya. Dibawa ke rumah sakit, kemudian Vina meninggal sehari kemudian ya. Peristiwa yang terjadi dalam sekuen proses hukum, 31 Agustus Iptu Rudiana itu membuat laporan polisi dan di BAP.

Jadi ayahnya Eky bikin laporan polisi. 31 Agustus Iptu Rudiana membuat laporan polisi dan di BAP jam setengah 7 malam. Tetapi dalam BAPnya menyatakan dia sudah menemukan 11 orang, dan 8 orang telah mengaku sebagai pelakunya.

8 orang mengaku sebagai pelakunya, berarti sudah ditangkap nih. Yang nangkap siapa? Serupanya dia sendiri.

Padahal kalau dia sebagai polisi, waktu itu kan polisi narkoba ya. Ini harus dilakukan oleh reskrimum, bukan narkoba. Dan harus melalui proses penyelidikan dan penyidikan.

Penyelidikan lebih dulu ya. Karena apa?

Ditemukan jenazah, tidak ada pelaku di sana, maka yang harus dilakukan adalah olah TKP.

Itu kan langsung diangkat jenazahnya tuh. Olah PKP. Kemudian forensik, kedokteran.

Kemudian dilakukan penyelidikan. Jadi tanggal 31 Agustus seharusnya keluar surat perintah penyelidikan dulu.

Atau perintah sidik pun tidak apa-apa karena sudah ada peristiwa pidana. Tapi kan belum tahu pelakunya. Nah, di sini sudah ditangkap.

Nah, waktu menangkap pertanyaannya. Dasarnya apa? Perasaan kah, Nujum, Ilham dari dukun Atau memang Rudiana sebagai polisi punya kemampuan mendeteksi keberadaan pelaku. Tetapi itu semua kan tidak boleh.

Harus tetap prosedur. Jadi tadi sidik olah TKP visum etripertum kemudian meminta keterangan saksi-saksi.

Lah, dia baru diperiksa sudah ada yang ditangkap. Ini kesalahan prosedur. Sudah rusak dari awalnya.

Yang repotnya ketika dilakukan tim propam dan Irwasum turun, dikatakan tidak ada kesalahan prosedur. Jadi, kalau menurut saya tidak begitu ya. Yang disampaikan oleh institusi Polri itu untuk di depan publik itu menurut saya ada dasar dan juga untuk membela institusi ya.

Karena ada dasarnya apa? Putusannya ini kemudian mereka dinyatakan salah semua. Jadi hasil proses sudah dinyatakan benar. Padahal kita semuanya alih hukum sudah membedah habis-habisan.

Itu kesalahan prosedur. Tapi di dalam saya rasa ada proses audit ini ada kesalahan prosedur. Tapi tidak dibuka.

Nah, ini tentang uji transparansi ini oleh polisi. Jadi kesalahan prosedur berjalan sampai divonis berkekuatan tetap. Ini juga sedihnya sistem peradilan pidana kita.

Kalau saya jaksa, begitu saya terima berkah, itu berkah saya tolak. Tetapi bisa diterima kenapa? Karena namanya komunikasi, pendekatan. Pendekatan hukum dilakukan dengan cara pendekatan.

Mengintervensi, mempengaruhi entah dengan kebaikan jaksa menerima berkas perkara. Entah dengan pesan-pesan tertentu. Eh sambung lagi ke hakim.

Gawatnya begini loh. Saya baca ya satu putusan terhadap sakat tatal.

Ya kan? Pengacaranya bikin pembelaan. Eh pengacaranya ada kelalaian menulis. Nomor perkara sakat tatal dia salah tulis yang ditulis nomor surat kuasa.

Misalnya nomor perkara misalnya 50. Administrasi surat kuasa dia misalnya 25. Dia tulis 25.

Apa yang dilakukan oleh hakim? Bahwa menimbang bahwa nomor perkara yang disebut oleh penasihat hukum adalah buka nomor perkara ini terjadi kesalahan sehingga semua pembelaan ini tidak dipertimbangkan. Nah ini praktek-praktek yang buruk dalam pennegakan hukum kita. Jaksa dan pengadilan bisa saling manu-manuan ya untuk kemudian melegitimasi proses yang salah.

Nah itu jadi dari awal salah pak. Kacau.

Pak Sugeng melihat mesti mengikuti putusan pra peradilan. Ini sekual yang lain ya. Jadi diluar itu tiba-tiba karena dalam putusan pengadilan ada 3 orang yang belum ditangkap. Ada si Pegi alias Perong, ada Dhani, ada Andika atau Dika. Kan gitu kan ya. Nah tapi kemudian oleh polisi 2 nama Andika sama Dhani dianggap fiktif. Tapi Perong, Pegi nya ada. Ini menurut Pak Sugeng ada putusan pengadilan?

Memang contradiktif ya. Jadi ada 2 nih. Ini kewenangan penyidik penuh di dalam hal saat ini. Kalau dia memutuskan yang 2 itu tidak ada, sebetulnya kewenangan dia.

Setelah membaca berkas. Tetapi kontradiktif. Kenapa? Kemudian juga yang 1 dinyatakan ada.

Nah ini udah kontradiktif ya. Jadi pada aspek kewenangan dia boleh. Tetapi kemudian pada aspek logis, pada aspek yang namanya rasional, nggak nyambung.

Jadi terjadi dia Pegi. Pegi ada. Tapi yang masyarakat teramai tuh.

Ini katanya orang-orang yang punya pengaruh kuat. Keluarga. Tapi saya nggak mau ngebahas itu ya.

Jadi menurut saya tadi seperti tadi ya. Pegi ada. Pegi ada dan bias soal posisi status itu punya pengaruh.

Jadi saya melihat ya. Orang-orang miskin. Orang-orang lemah. Orang-orang yang di golongan bawah. Itu selalu jadi korban.

Gitu loh ya. Orang-orang yang punya pengaruh kuat. Orang-orang yang punya uang besar. Punya kekuasaan. Selalu dapat privilege ya. Pegi ini cuman bapaknya buruh bangunan.

Nah dia kulih juga. Jadi mungkin sih dia ada seleksi. Ini lemah nih kalau kita ini tidak. Eh dia nggak tau. Publik ternyata mengawal. Dia dibela oleh publik.

Jadi dianggap diantara ini yang paling lemah. Iya. Tadi publik membela habis-habisan. Karena memang publik itu masyarakat itu punya jiwa yang namanya keadilan. Rasa keadilan masyarakat. Berpihak pada yang lemah.

Itu kecenderungan kita ya. Nah ini secara psikologis ini harus diperhitungkan oleh polisi. Apalagi sudah viral. Jadi Pegi yang diambil. Eh salah prosedur lagi. Waktu putusan diuji kan diputusan.

Jadi pengadilan itu mencari celah. Karena udah rame saya melihat. Hakim ini cukup berani dan punya keberpihakan. Kalau tidak didukung publik habis-habisan begini. Belum teruji dia.

Ini belum teruji dia sebetulnya. Kalau teruji itu dalam kondisi senyap. Tidak ada dukungan publik.

Dia berpihak pada orang miskin. Tapi dia kita anggap berani dan punya inilah. Kenapa? Kalau dia memutus yang buruk. Ya polisi kan tidak senang. Bisa saja kapan lu gue incer, Bisa saja.

Tapi dia memilihnya. Jadi menemukan lubang. Wah rupanya ada kesalahan prosedur.

Dua yang jadi pertimbangannya. Bahwa pegi sebelum ditangkap. Tidak diperiksa sebagai saksi. Bahkan 8tahun sebelumnya juga tidak diperiksa. Wah ini. Namanya sudah disebut. Jadi tidak diperiksa sebagai saksi. Yang kedua penetapan DPO itu. Harus sudah ada panggilan minimal dua kali secara sah. Dua kali dipanggil tidak hadir. Tanpa keterangan yang sah. Maka dia bisa ditetapkan DPO. Tidak diketahui keberadaannya.

Kalau diketahui keberadaannya. Namanya dibawa paksa. Kalau tidak diketahui masuk DPO. Tidak ada administrasinya. Ketemu oleh hakim. Jadi hakim memutus pada aspek formil namanya.

Materialnya hakim belum berani masuk. Walaupun disebutkan begini kan pertimbangannya. Walaupun ada dua alat bukti. Tetapi soal prosedur. Juga harus dipertimbangkan. Penetapan. Prosedur penetapan tersangka. Jadi dia main di prosedur. Tidak ada lubangnya.

Akhirnya disana. Pertanyaannya selanjutnya. Kan masih ada bukti-buktinya polisi nih. Walaupun kuat atau tidak kita tidak tahu ya. Bagaimana Pegi? Apakah dia masih bisa disidik? Pendapat saya. Polisi tetap menaruh dalam daftar suspek Prioritas. Karena dia cuma punya alat bukti. Itu terhadap Peggy yang ini.

Kalau dia mau mengulang dari nol. Wis mabur, alat bukti semua itu sudah menguap. Alat bukti menguap mas dengan lewatnya waktu. Seperti air. Yang pada satu. Mengendap di satu tempat. Kena panas matahari dia menguap. Menjadi butiran-butiran. Dan kemudian melakukan sublimasi lagi. Dari uap air menjadi air. Kemudian diwujudkan lagi. Wah itu luar biasa.

Luar biasa membutuhkan keahlian. Nah disini gak bisa melawan alam. (Tribun Network/ Yuda).

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini