News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

RUU Polri Tawarkan Perluasan Kewenangan Penyidikan, Mardani PKS: Ini Perlu Dikritisi

Penulis: Ibriza Fasti Ifhami
Editor: Malvyandie Haryadi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Anggota Komisi II DPR sekaligus Anggota DPR Terpilih 2024-2029 Mardani Ali Sera, dalam diskusi publik bertajuk 'Polisi 'Superbody': Siapa yang Mengawasi?', di kantor Amnesty Internasional Indonesia, Jakarta, pada Senin (22/7/2024).

Laporan wartawan Tribunnews, Ibriza Fasti Ifhami

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi II DPR sekaligus Anggota DPR Terpilih 2024-2029 Mardani Ali Sera menilai rancangan undang-undang (RUU) Polri perlu dikritisi.

Hal itu disampaikan Mardani, dalam diskusi publik bertajuk 'Polisi 'Superbody': Siapa yang Mengawasi?', di kantor Amnesty Internasional Indonesia, Jakarta, pada Senin (22/7/2024).

Mardani menyoroti temuan Amnesty Internasional mengenai adanya transaksi penjualan psyware atau alat sadap. Adapun di Indonesia, piranti ini digunakan oleh Polri dan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).

Terkait hal ini, ia juga menggarisbawahi soal adanya aturan mengenai perluasan kewenagan penyidikan Polri dalam RUU Polri. Menurutnya, harus ada transparansi dan pengawasan yang jelas terhadap hal ini.

"Ini benar-benar perlu dikritisi. Khusus untuk yang sekarang saya setuju terkait tentang bab penyadapan. Ini psyware kita, pengadaan yang tidak transparan," kata Mardani.

"Ketika kita memperkuat kewenangan penyadapan, di saat yg sama tidak diikuti dengan transparansi akuntabilitas pengawasan, itu bahaya," tambahnya.

Politikus PKS itu kemudian menyinggung mengenai piranti penyadapan yang sempat ramai diperbincangkan beberapa waktu belakangan, yakni Pegasus.

"Apalagi minta maaf, kalau software dari Israel, Pegasus, dia bahaya sekali kalau handphone kita sudah bisa dikuasai sama mereka," ucapnya.

Ia mewanti-wanti agar proses pembahasan sejumlah RUU di DPR dapat diawasi masyarakat sipil. Terlebih, dalam kurun waktu 16 Agustus - 31 September, beberapa RUU berpotensi disahkan.

"Itu satu setengah bulan bisa lolos, RUU TNI lolos, RUU Kepolisian lolos, RUU Wantimpres lolos, RUU Kementerian. Itu udah pengambilan tingkat satu semua itu," ucapnya.

"Semuanya (RUU) lucunya, domain ini sebenarnya paling baik eksekutif yang mengajukan. Karena itu akan banyak digunakan oleh legislatif. Tapi semua ini mayoritas jadi usulan inisiatif DPR," tambahnya.

"Kalau inisiatif DPR, pemerintah cuma satu. Kalau (RUU diajukan) pemerintah, kita (DPR) ada 9 fraksi, repot ngurus 9 fraksi. Kalau ini udah, apalagi kalau ini udah pesanan. Nyambung dah tuh. Ini bukan stadium dini lagi, stadium lanjut."

Dalam kesempatan yang sama, ia mengungkapkan, banyak pengajuan pembentukan undang-undang melalui Badan Legislatif (Baleg) DPR lantaran proses dari pembahasan hingga disahkannya RUU tertentu dinilai hanya memerlukan waktu pendek.

"Saya kebetulan anggota Badan Legislasi. Jadi banyak melalui Baleg sekarang ini," katanya.

"Ini sesuatu yang kalau saya pribadi udah berkali-kali mengatakan di Baleg, kita mesti berhati-hati. Karena tanpa proses teknokrasi yang baik, termasuk tinjauan sosiologis, tinjauan psikologis, dan perkembangan zaman, bisa jadi UU yang kita buat menjadi UU yang akhirnya menjerat kita," ucap Mardani.

Sebelumnya, Amnesty Intenasional Indonesia mendesak DPR untuk menunda pengesahan rancangan undang-undang (RUU) Polri.

"Kami mau DPR menunda pengesahan atau Presiden (Jokowi) cabut surpresnya yang ada di DPR, sebelum ada ruang partisipasi bermakna," kata peneliti Amnesty Internasional Indonesia Nurina Savitri, dalam diskusi publik bertajuk "Polisi 'Superbody': Siapa yang Mengawasi?", di kantor Amnesty Internasional Indonesia, Jakarta, pada Senin (22/7/2024).

Ia menyoroti salah satu aturan dalam RUU Polri, yakni soal perluasan kewenangan penyidikan institusi kepolisian RI itu. Menurutnya, hal tersebut akan berbahaya bagi kebebasan masyarakat dalam melakukan 'check and balance' jalannya ketatanegaraan Indonesia.

"Kalau memang betul itu kita loloskan, lalu siapa yang mengawasi? Siapa yang mau menjamin bagaimana kita bebas mempertanyakan check and balance di dalam negara ini?" ujarnya.

Terlebih, kata Nurina, penelitian Amnesty Internasional Indonesia terbaru, menemukan adanya transaksi penjualan spyware atau alat sadap.

Ia mengaku prihatin lantaran salah dua pengguna spyware di Indonesia adalah Polri dan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).

Hal ini menurutnya juga akan menjadi ancaman serius bagi kebebasan publik untuk bersikap kritis terhadap rezim pemerintahan, terlebih ketika terjadi perluasan kewenangan penyidikan Polri sebagaimana ketentuan dalam RUU Polri.

"Invasif dalam artian, kita enggak akan sadar kalau kita sedang diintai, sangat susah dilacak, dan kita enggak tahu kegunaannya untuk apa," ucap Nurina.

Ia menyebut, beberapa nama spyware invasif tersebut, yakni Finisfisher, Wintego, dan Intellexa. Katanya, proses penyadapan salah satunya dilakukan melalui domain tertentu yang sudah disiapkan.

Menurut Nurina, masyarakat berkemungkinan tidak mengetahui dirinya menjadi target penyadapan ketika mengakses domain tersebut.

Diberitakan sebelumnya, sebuah investigasi internasional kolaborasi antara Amnesty, Haaretz, Tempo dan lainnya mendapati temuan bahwa setidaknya terdapat empat perusahaan teknologi yang terafiliasi dengan Israel diduga telah menjual teknologi spyware dan pengawasan siber yang invasif ke Indonesia.

Indonesia selama ini tidak memiliki hubungan diplomatik formal dengan Israel dan merupakan negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia.

Penelitian yang dilakukan oleh Lab Keamanan Amnesty International, berdasarkan sumber terbuka termasuk catatan perdagangan, data pengiriman dan pemindaian internet, mengungkap hubungan antara badan dan lembaga resmi pemerintah di negara Asia Tenggara dan perusahaan teknologi Israel NSO, Candiru, Wintego dan Intellexa.

Perusahaan-perusahaan tersebut tergabung dalam sebuah konsorsium yang awalnya didirikan oleh mantan perwira militer Israel, setidaknya sejak tahun 2017.

Aliansi Intellexa misalnya, selama ini aktif terlibat dalam pengembangan dan pemasaran berbagai produk pengawasan termasuk spyware canggih, platform pengawasan massal, dan sistem taktis untuk menargetkan dan mencegat perangkat di sekitar.

Menurut hasil penyelidikan Amnesty International, Entitas korporat aliansi ini tersebar di berbagai yurisdiksi, baik di dalam maupun di luar Uni Eropa.

Sifat sebenarnya dari hubungan antara perusahaan-perusahaan ini diselimuti kerahasiaan karena entitas korporasi, dan struktur di antara mereka, terus-menerus berubah, berganti nama, mengubah merek, dan berkembang.

Perusahaan Jerman FinFisher, yang merupakan saingan perusahaan Israel dan yang teknologinya diduga digunakan untuk mengincar para pengkritik terhadap pemerintah di Bahrain dan Turki, juga diketahui telah mengirimkan teknologi tersebut ke Indonesia.

Amnesty mengatakan hanya ada sedikit visibilitas mengenai target sistem tersebut.

“Alat spyware yang sangat invasif dirancang untuk bersifat rahasia dan meninggalkan jejak minimal,” katanya dalam laporan tersebut.

“Kerahasiaan yang tertanam dalam hal ini dapat mempersulit pendeteksian kasus-kasus penyalahgunaan alat-alat ini terhadap masyarakat sipil dan berisiko menciptakan impunitas atas pelanggaran hak asasi manusia," sebut Amnesty dalam laporan resminya.

Dikatakan Amnesty, temuan ini merupakan “keprihatinan khusus” di Indonesia dimana ruang sipil telah “menyusut sebagai akibat dari serangan yang terus menerus terhadap hak atas kebebasan berekspresi, berkumpul dan berserikat secara damai, keamanan pribadi dan kebebasan penahanan sewenang-wenang”.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini