TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Organisasi Al Jamaah Al Islamiyah atau lebih populer disebut Jamaah Islamiyah (JI) secara resmi telah bubar sejak 30 Juni 2024.
Para anggotanya telah menyerahkan diri.
Mereka juga meminta maaf kepada aparat keamanan, pemerintah, dan rakyat Indonesia atas apa yang selama ini terjadi.
Berikut perjalanan berdirinya organisasi Jamaah Islamiyah, aktivitasnya hingga akhirnya resmi bubar.
Baca juga: Sempat Syok Dengar Jamaah Islamiyah Bubar, Sabarno Eks DPO Akhirnya Ajak Buronan Lain Serahkan Diri
Membaca kisah organisasi Jamaah Islamiyah adalah membaca sejarah panjang Indonesia modern warisan perang kemerdekaan.
Nama Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo tak bisa dilepaskan dari kemunculan Jamaah Islamiyah berpuluh tahun kemudian.
Ada kesamaan ideologis di antara perjuangan JI dengan gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII).
Bahkan ada yang menyebut Jamaah Islamiyah adalah salah satu bagian kelanjutan perjuangan NII DI/TII.
Kartosuwiryo secara ideologis dan politis melahirkan gerakan Negara Islam Indonesia (NII) DI/TII di Garut dan sekitarnya pada 7 Agustus 1949.
Menyebut nama Kartosoewirjo, bagaimanapun tak bisa dilepaskan dari sejarah perjalanan murid-murid dan anak asuh Haji Oemar Said Tjokroaminoto di Gang Peneleh VII, Kota Surabaya.
Dua nama penting lain adalah Soekarno dan Semaoen. Soekarno kelak jadi Presiden pertama Republik Indonesia.
Baca juga: Peneliti dan Pemerhati Terorisme Bicara soal Bubarnya Jamaah Islamiyah: Tidak Ada Pihak yang Menekan
Sedangkan Semaoen bersama Alimin dan Muso kelak menjadi pentolan tokoh Partai Komunis Indonesia.
Akan halnya Kartosoewirjo, kelak sesuai perjuangan yang dipilihnya, memimpin NII DI/TII yang mengangkat senjata melawan pemerintahan Soekarno.
Kartosoewirjo, Soekarno, dan Semaoen pernah tinggal serumah di kediaman Haji Oemar Said Tjokroaminoto.
Sejak muda mereka menyemai pemikiran di guru yang sama.
Di rumah ini pula tokoh-tokoh pendiri Muhammadiyah di kemudian hari, seperti KH Ahmad Dahlan dan KH Mas Mansyur kerap ikut berkumpul.
Akhir tragis terjadi di antara Kartosoewirjo, Soekarno, dan Semaun.
Ketiganya bersimpang jalan karena faktor ideologis dan jalan politik yang dipilih.
Ketika gerakan NII DI/TII dipukul pasukan TNI dan Kartosoewirjo ditangkap, Presiden Soekarno dengan berat hati meneken pelaksanaan eksekusi mati Kartosoewirjo di sebuah pulau di Teluk Jakarta.
Kematian SM Kartosoewirjo meredakan perlawanan NII DI/TII, yang selama beberapa tahun telah menghanguskan sebagian wilayah Priangan Timur.
Melompat beberapa tahun kemudian, generasi penerus NII DI/TII menghidupkan kembali gerakan itu dalam bentuk lain dengan corak organisasi yang beragam.
Baca juga: Abu Fatih Cerita Awal Keterlibatan di JI hingga Jadi Saksi Meninggalnya Pimpinan JI Abdullah Sungkar
Muncul nama Komando Jihad atau Komji, yang diwarnai aksi-aksi perampasan atau fa’i oleh kelompok Warman, dan penyerangan markas militer serta pos-pos polisi.
Paling fenomenal adalah pembajakan pesawat Garuda DC-10 Woyla oleh kelompok Imran yang mendarat dan pembajakan diakhiri di Bandara Don Muang, Bangkok.
Rangkaian aksi teror bernuansa ideologis ini berlangsung antara tahun 1976 hingga 1981, yang kemudian melahirkan teori konspirasi andil rezim Orde Baru di balik peristiwa ini.
Gerakan-gerakan disertai kekerasan itu merupakan perlawanan terhadap nasionalisme dan pemerintahan Indonesia yang juga menciptakan asas tunggal dalam politik.
Tak hanya di Jawa Barat, di Solo pada 1977 muncul nama Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir.
Keduanya dituduh mengkampanyekan golput atau golongan putih di Pemilu saat itu.
Keduanya ditangkap dan ditahan aparat keamanan khusus pemerintah Indonesia.
Tak berselang lama, keduanya kembali ditangkap atas tuduhan menentang dasar negara Pancasila.
Namun jauh sebelum itu, Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir mulai dikenal saat mendirikan Pondok Pesantren Al Mukmin di Ngruki, Cemani, Sukoharjo.
Mereka mendirikan pesantren itu bersama sejumlah tokoh lain yang tergabung di simpul organisasi Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) yang didirikan Mohammad Natsir.
Benih ideologis menguat di tempat ini, yang kemudian identik dengan pergerakan NII warisan Kartosoewirjo.
Inilah yang membuat Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir harus berhadapan dengan pemerintah dan apparat keamanan Indonesia.
Sesudah ditangkap dan ditahan sejak 1983, keduanya divonis 9 tahun penjara pada 1985. Kasusnya naik ke kasasi dan mereka dikenai tahanan rumah.
Di saat itulah, Abdullah Sungkar alias Abdul Halim dan Abu Bakar Baasyir alias Abdus Somad hijrah ke Kuala Pilah Negeri Sembilan, sebelum pindah ke Johor Bahru, Malaysia.
Mereka kelak mendirikan madrasah Luqmanul Hakim, dan dari titik inilah pada tahun 1993 Abdullah Sungkar mendirikan pergerakan baru Al Jamaah Al Islamiyah atau JI, sekaligus memimpinnya.
Kelahiran JI tak terlepas dari konflik elite jamaah NII, yang kemudian memisahkan tokoh-tokoh asal Ngruki dari kelompok NII Ajengan Masduki yang berbasis di Jawa Barat.
Pernyataan infishol itu secara formal mengakhiri hubungan dengan NII Jawa Barat, dan menjadi titik awal Jemaah Islamiyah.
Namun sebelum Jamaah Islamiyah eksis, mengerucut sebagai organisasi dengan struktur yang lengkap, kelompok Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir telah membangun jaringan dengan kelompok mujahidin di Afghanistan.
Karena itu secara bergelombang, Abdullah Sungkar memberangkatkan murid-muridnya warga Indonesia dan ada juga warga Malaysia, berguru ke Pakistan dan Afghanistan.
Sebagian alumni-alumni Afghanistan, murid-murid Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir dan jaringan murid serta alumni Luqmanul Hakim Johor Bahru inilah yang kemudian pada waktunya terlibat aksi-aksi peledakan bom dan kekerasan bersenjata di Indonesia.
Jamaah Islamiyah di bawah Abdullah Sungkar saat itu telah menjelma menjadi gerakan yang membangkitkan kegairahan luar biasa, dan berjuang untuk tegaknya hukum Islam secara lebih luas tak hanya di Indonesia.
Mereka mengirimkan orang-orangnya ke Mindanao, Filipina dan Patani Thailand.
Sehingga wilayah operasi Jamaah Islamiyah terbentang cukup luas terbagi dalam sejumlah wilayah kerja atau mantiqiyah.
Reformasi 1998, tumbangnya rezim Soeharto, akhirnya memberi jalan pulang bagi Abdullah Sungkar, Abu Bakar Basyir, dan murid-muridnya di Malaysia dan berbagai tempat.
Kepulangan kedua tokoh ini pada mulanya tidak menimbulkan efek apa-apa hingga pada 1999, Abdullah Sungkar meninggal mendadak di Bogor, saat kepulangannya kali kedua dari Malaysia.
Sesudah itu terjadi sejumlah dinamika yang secara drastis akan mengubah situasi sosial politik dan stabilitas keamanan nasional.
Sidang Istimewa MPR 1999 diwarnai pecahnya konflik horisontal dan vertikal di Jakarta. Kerusuhan meledak di Jakarta.
Pamswakarsa yang dibentuk kelompok politik tertentu bentrok dengan mahasiswa dan masyarakat.
Pendemo Sidang Istimewa MPR juga direpresi aparat keamanan.
Bentrokan di Jalan Ketapang, Jakarta Pusat pada 21-22 November 1998, merenggut banyak korban jiwa, mayoritas warga asal Maluku.
Konflik politik bergerak menjadi konflik etnis dan bernuansa agama sejak 19 Januari 1999 di Ambon, lalu merembet ke berbagai wilayah.
Inilah titik awal yang nantinya akan meledakkan konflik horizontal yang membakar Maluku, Maluku Utara, lalu Poso.
Jamaah Islamiyah termasuk yang terpanggil ikut terjun ke konfik Ambon dan Maluku. Di tahun yang sama, konflik juga masih mendera Filipina Selatan.
Masih di tahun yang sama, tahun 2000, Abu Bakar Baasyir yang dulu bersama Abdullah Sungkar di Malaysia, sepulang di Indonesia mendirikan Majelis Mujahidin Indonesia (MII) dan jadi pemimpin pertamanya.
Abu Bakar Baasyir telah bersimpang jalan dengan Jamaah Islamiyah yang diteruskan murid-murid loyal almarhum Abdullah Sungkar.
Pada 1 Agustus 2000, bom mobil meledak dahsyat di depan rumah Dubes Filipina di Menteng, Jakarta, menewaskan dua warga Indonesia.
Duta Besar Filipina Leonides Caday dirawat di rumah sakit karena cedera di kepala dan tangan. Kelak akan diketahui pelakunya Fathurahman Al Ghozi, kader dan rekrutan Jamaah Islamiyah.
Di akhir tahun, tepatnya malam Natal 2000, atau 24 Desember 2000 malam, bom berledakan hebat dari berbagai lokasi di Pulau Sumatera hingga Nusa Tenggara Barat.
Kelak di kemudian hari terungkap aksi pengeboman massal ini diinisiasi dan dikendalikan kelompok Encep Nurjaman alias Enjang Nurjaman alias Hambali alias Ridwan Ishomudin.
Hambali tahun 1985 pernah di Afghanistan, dan selanjutnya turut mendidik mujahidin asal Indonesia di kamp kemiliteran di perbatasan Pakistan-Afghanistan.
Selain Hambali, aksi pengeboman massal malam Natal 2000 dilakukan Muklas alias Ali Ghufron, Abdul Azis alias Imam Samudra alias Qodama, dan puluhan orang yang berhubungan dengan orang-orang ini.
Nama-nama mereka kelak kemudian diketahui bersimpul dengan apa yang pernah dibangun almarhum Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir di madrasah Luqmanul Hakim, Johor Bahru, Malaysia.
Pada 11 September 2001, empat kelompok penyerang Al Qaeda membajak empat pesawat komersial yang dua di antaranya ditabrakkan ke Menara kembar World Trade Center di New York.
Satu lain menghantam Pentagon, dan satu pesawat lagi jatuh di lapangan dekat Shanksville, Pennsylvania, gagal mencapai target di Washington DC.
Peristiwa 11 September 2001 ini memicu kemarahan Amerika Serikat, yang sebulan kemudian menggempur Afghanistan diikuti pengiriman pasukan militer.
Pemimpin Al Qaeda Syekh Usamah bin Ladin atau Osama bin Laden, menyerukan perang total melawan apa yang disebutnya orang-orang kafir.
Fatwa Osama bin Laden ini memanggang kemarangan banyak orang dan kelompok, termasuk jaringan para pelaku bom massal malam Natal 2000.
Setahun setelah pasukan Amerika Serikat menyerbu Afghanistan, pada 12 Oktober 2002, bom super dahsyat meledak di Kuta dan Legian, Denpasar, Bali.
Kelak kemudian diketahui pengeboman diorkestrasi Ali Ghufron alias Muklas, Abdul Azis alias Imam Samudra, Ali Imron, Dr Azhari Nurdin dan Noordin M Top, keduanya warga Malaysia.
Sekali lagi kelompok ini tersimpul dengan kegiatan yang pernah difasilitasi almarhum Abdullah Sungkar semasa memimpin Jamaah Islamiyah di Malaysia.
Setelah bom Bali 12 Oktober 2002, penangkapan para pelakunya tak menyurutkan jaringan yang tersisa, yang melanjutkan seri teror dan kekerasan di tahun-tahun selanjutnya.
Jemaah Islamiyah terus disangkutpautkan dengan berbagai aksi terorisme yang dilakukan individu-individu yang berkelompok, dan mereka umumnya direkrut dan dididik kader jamaah ini.
Tak terbilang lagi pengungkapan dan penangkapan para pelaku kekerasan bersenjata oleh aparat keamanan, yang ujung-ujungnya selalu tersimpul dengan jaringan Jamaah Islamiyah.
Juga ada yang bersinggungan dengan MMI, dan lalu belakangan muncul Jamaah Anshorut Daulah (JAD), Jamaah Anshorut Tauhid (JAT), Majelis Mujahidin Indonesia Timur (MMIT), dan lain-lainnya.
Pada 9 Juni 2007, Ustad Zarkasyi atau Zarkasih alias Abu Irsyad alias Zahroni ditangkap pasukan Polri di Yogyakarta.
Sebelumnya aparat menciduk Ainul Bahri alias Abu Dujana alias Pak Guru di Kebumen.
Keduanya disebut tokoh penting Jamaah Islamiyah.
Zarkasyi diyakini pemimpin sementara Jamaah Islamiyah saat tokoh pengganti Abdulah Sungkar yaitu Abu Rusdan di dalam penjara.
Sementara Abu Dujana disebut sebagai Panglima Askari atau pemimpin pasukan Jamaah Islamiyah.
Keduanya menjalani proses hukum hingga divonis pada 21 April 2010.
Zarkasih diganjar hukuman 15 tahun penjara, sama dengan Abu Dujana.
Poin menentukan di vonis kedua tokoh ini, pengadilan menyatakan Jemaah Islamiyah merupakan "korporasi yang terlarang".
Inilah awal dari masa survival hingga dialektika para elite Jamaah Islamiyah sebagai organisasi berikut jaringannya, yang ternyata memerlukan waktu 14 tahun untuk sampai pada titik balik bubar atau membubarkan diri.
Deklarasi bubarnya Jamaah Islamiyah dinyatakan pada 30 Juni 2024 di Hotel Lor In Sentul Bogor, didahului pertemuan kajian atau semacam batshul masail sehari sebelumnya di Solo, atau pada 29 Juni 2024.
Semua sesepuh Jamaah Islamiyah yang aktif maupun tidak aktif, para tokoh senior jamaah dari berbagai bidang urusan hadir dan bersepakat bulat dengan hasil evaluasinya.
Hasil pertemuan Solo dibawa ke Sentul, yang kali ini pertemuan diberi judul Forum Silaturahmi Pondok Pesantren Jamaah Islamiyah.
Tokoh-tokoh sentral Jamaah Islamiyah, termasuk Abu Rusdan, Para Wijayanto, Arif Siswanto, Abu Fatih, Abu Dujana, dan lain-lain hadir memberi pendapat, pandangan, dan dukungan.
Akhirnya pertemuan yang diawali menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya, diakhiri pembacaan deklarasi Jamaah Islamiyah menyatakan diri bubar oleh Ustad Abu Rusdan alias Thoriquddin alias Hamzah.
Inilah akhir kisah perjalanan Al Jamaah Al Islamiyah sebagai organisasi yang didirikan almarhum Abdullah bin Ahmad Sungkar dan Abu Bakar Baasyir serta beberapa tokoh lain, 31 tahun lalu di Malaysia. (Tribun Network/Setya Krisna Sumarga)