Meskipun saat ini tengah ramai kabar soal RUU Polri, tapi substansi dari undang-undang tersebut dinilai tak merespresentasikan reformasi Polri, melainkan penambahan kekuasaan terhadap institusi penegak hukum itu.
"Sekarang ada revisi UU, tapi isinya bukan reformasi. Isinya adalah penambahan kekuasan," ujarnya.
Terkait hal itu, menurut Bivitri, kewenangan tak bisa dilepaskan dari pengawasan. Terlebih, Indonesia adalah negara hukum. Dimana inti dari negara hukum adalah pembatasan kekuasaan dan HAM.
"Dengan itu, setiap kewenangan negara harus memerhatikan dua aspek ini. Kalau tidak, tidak ada pembatasan kekuasaan. Kekuasaan bisa sewenang-wenang. Yang terjadi selama ini minim pengawasan, minim pertanggungjawaban," tuturnya.
Baca juga: 13 Catatan Kritis Guru Besar Hukum Pidana atas Draf RUU Polri & Kelakarnya yang Banjir Tepuk Tangan
Dalam kesempatan yang sama, Bivitri menyoroti adanya newspeak atau bahasa yang mengandung ambigu, yang digunakan dalam RUU Polri.
"Kalau kita membicarkaan kepolisian itu enggak bicara like and dislike (suka atau tidak suka). Kepolisian itu jelas dibutuhkan di negara ini maupun di semua negara. Tapi kita harus lihat wajahnya yang nyata itu seperti apa," kata Bivitri.
Ia menyinggung beberapa newspeak. Pertama, penggunaan kata 'pembinaan'
"Kata pembinaan ini maknanya apa? Kenapa harus dibina? Siapa yang dibina? Dibina dengan apa?" kata Bivitri.
Kedua, penggunaan kata 'ketertiban'. Ia mencontohkan praktik kata ketertiban itu dengan kasus kematian Afif Maulana, pelajar SMP di Padang yang tewas diduga dianiaya polisi.
"Pada umumnya, ada anggapan bahwa pokoknya harus tertib. Makanya anak kecil, Afif dan teman-temannya, dia mau tawuran, melanggar ketertiban kah tawuran? Iya. Tapi apakah sampai harus diperlakulan seperti itu, kan tidak," ucapnya.
"Tapi kan timbul anggapan bahwa pokoknya asal tertib, semua libas. Itu yang mengerikan dengan newspeak seperti ini," tambahnya.
Baca juga: Pengamat Militer Nilai RUU Polri Bisa Bangkitkan Ide Bentuk Kementerian Hankam
Ketiga, kata Bivitri, soal penggunaan kata 'kepentingan nasional'.
"Apa itu kepentingan nasional? Apakah kepentingan saya? Kepentingan seluruh bangsa ini? Kepentingan korporasi?" tutunya.
Ia menjelaskan, salah satu asas pembentukan perundang-undangan (PPP) adalah kejelasan rumusan atau tidak adanya ambiguitas.