TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rancangan Undang-Undang Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (RUU Polri), merupakan sebuah kebutuhan dan keniscayaan.
Pasalnya, RUU tersebut untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman, dinamika sosial, budaya, dan hukum masyarakat.
Demikian dikatakan oleh Guru besar ilmu hukum Universitas Al Azhar Indonesia, Prof. Suparji Ahmad, dalam diskusi publik tentang RUU Polri di Jakarta, Rabu (24/7/2024).
Diskusi tersebut juga dihadiri oleh pakar hukum tata negara Margarito Kamis, pakar hukum administrasi negara Muhammad Rullyandi dan Ketua Badan Pengurus Centra Initiative Al Araf.
"Secara historis, 20 tahun sudah usia UU Polri mengharuskan dilakukan perubahan agar relevan dengan situasi dan perkembangan yang ada," tutur Suparji.
Selain itu, lanjut Suparji, revisi terbatas sudah dilakukan terhadap sejumlah UU yang mengatur aparatur penegak hukum.
Seperti revisi UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan yang memberikan penguatan kelembagaan pada tugas penuntutan.
Begitu pula revisi terhadap UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
"Kinerja penegakan hukum dalam beberapa hal, seperti fungsi penyelidikan dan penyidikan, keberpihakan, merekayasa kasus, menghilangkan fakta, membuat laporan bohong pada atasan, hingga membuat berita acara pemeriksaan (BAP), perlu dilakukan perbaikan," katanya.
Lebih lanjut Suparji mengatakan pengawasan, penyelidikan dan penyidikan oleh internal mesti melibatkan unsur masyarakat. Seperti unsur masyarakat masuk sebagai tim tetap di pengawasan penyidikan (Wasidik).
Kemudian unsur masyarakat dalam komposisi Komisi Kode Etik Profesi (KKEP).
"Pengaturan tersebut mesti diatur dalam revisi UU 2/2002. Termasuk pula soal formasi Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) mesti lebih banyak unsur publik," ucapnya.
Suparji juga memaparkan beberapa poin-poin atau pasal-pasal dalam RUU Polri yang dianggap bermasalah oleh berbagai kalangan.
Pertama, Pasal 14 Ayat 1 huruf b yang berkaitan dengan pembinaan dan pengawasan di ruang siber yang dinilai akan mengakibatkan pembatasan akses internet yang dapat berujung pada pembatasan kebebasan berekspresi yang berlebihan.
Menurut Suparji, pasal tersebut tidak boleh sewenang-wenang, melanggar hak asasi manusia serta demokrasi.
"Implementasinya berkoordinasi dengan kementerian dan badan lain yang terkait," imbuhnya.
Kedua, Pasal 14 ayat 1 huruf o yang memberikan kewenangan polisi melakukan penyadapan dalam lingkup tugas kepolisian sesuai dengan undang-undang yang mengatur mengenai penyadapan.
Suparji berpendapat pasal tersebut perlu berkoordinasi dengan institusi lain, seperti Kementerian Komunikasi dan Informasi atau Kominfo.
"Dan juga tidak tumpang tindih dengan UU lain," ujarnya.
Ketiga, Pasal 30 Ayat (4) mengatur batas usia pensiun Kapolri atau polisi berpangkat perwira tinggi bintang 4.
Pasal ini mengatur batas usia pensiun kapolri dapat diperpanjang melalui Keputusan Presiden (Keppres) setelah mendapat pertimbangan dari DPR.
Namun, tidak diatur secara rinci berapa lama batas usia maksimum pensiun kapolri bisa diperpanjang.
Suparji menilai penambahan batas usia pensiun harus diikuti dengan peningkatan kinerja pengawasan dan tidak menghambat regenerasi.
Dari kesemuanya itu, Suparji meminta RUU Polri ini perlu di diskusikan oleh semua pihak terkait serta melibatkan masyarakat. Dengan tujuan mendorong Polri yang Presisi dan pengayom masyarakat.
Baca juga: Soal Revisi UU Polri, Kaukus Muda Indonesia Nilai Guna Perkuat Cita-cita Reformasi
Sekedar informasi, RUU Polri ini sudah disetujui menjadi usulan inisiatif DPR RI dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-18 Masa Persidangan V Tahun Sidang 2023-2024 yang digelar di Jakarta, Mei 2024, yang diajukan Badan Legislasi (Baleg) DPR. Namun RUU ini belum masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas 2024.