TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Siapa saja yang terlibat dalam tagihan fiktif kepada Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan?
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan dugaan fraud klaim yang dilakukan sejumlah rumah sakit kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan penting untuk dibawa ke ranah pidana.
Pasalnya, praktik fraud ini diduga melibatkan komplotan orang, bahkan hingga pemilik rumah sakit.
Lebih jauh, Deputi Pencegahan dan Monitoring Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pahala Nainggolan menduga pihak dokter rumah sakit terlibat .
"Saat mengeluarkan surat eligible peserta, ada tanda tangan dokter yang sebenarnya tidak lagi kerja di situ," ujar Pahala ketika diskusi Pencegahan dan Penanganan Fraud JKN di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Rabu (24/7/2024).
"Jadi klaim fiktif ini nggak mungkin satu orang dan ngga mungkin dokter aja sendiri ya nggak bisa juga," sambungnya.
Selanjutnya, Pahala menduga, praktik klaim fiktif BPJS tidak hanya melibatkan satu orang, tetapi dokter hingga manajemen tertinggi rumah sakit juga terlibat.
Oleh sebab itu, kasus ini menjadi salah satu fokus KPK.
"Kasus klaim fiktif ini menjadi fokus kita karena enggak mungkin satu orang yang ngejalanin, enggak mungkin dokter saja yang ngejalanin. Yang kita temukan sampai pemilik-pemiliknya-pemiliknya, dirutnya," ungkapnya.
Bagaimana kasus ini terungkap?
Pahala menambahkan, kecurangan di layanan kesehatan ini bermula ketika KPK bersama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melakukan studi banding ke Amerika Serikat pada 2017.
Kala itu tim yang berangkat membandingkan kecurangan yang terjadi di layanan Obama Care.
"Waktu itu 2017 tim dari KPK, BPJS dan Kemenkes kita lihat bagaimana penanganan fraud di Obama Care jadi kita ke Amerika bareng dan kita lihat FBI bilang ternyata 3-10 persen klaim itu pasti ada fraud-nya di Amerika dan mereka keras kalau ada fraud dibawa ke pidana," ucapnya.
Singkat cerita, tim yang terdiri dari KPK, Kemenkes, BPJS, dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menemukan tiga rumah sakit (RS) swasta yang mengajukan klaim fiktif sehingga menimbulkan kerugian negara puluhan miliar rupiah pada 2022-2023.
“Ternyata di tiga rumah sakit ada tagihan klaim 4.341 kasus tapi sebenarnya ada 1.000 kasus di buku catatan medis."
“Jadi sekitar 3.000-an itu diklaim sebagai fisioterapi tapi sebenarnya enggak ada di catatan medis (fiktif),” ujar dia melanjutkan.
"Jadi kita bilang 3.269 ini sebenarnya fiktif yang kita bilang kategori dua, ini medical diagnose yang dibuat tidak benar," ujar Pahala.
Di samping itu, kata Pahala, tim turut menemukan kecurangan layanan kesehatan dengan modus penggelembungan klaim.
Contohnya, lanjut Pahala, rumah sakit memberikan layanan fisioterapi dua kali tapi diklaim 10 kali.
"Misalnya gini ditagihkan 10 kali fisioterapi tapi kalau kita tanya ke orangnya cuma dua kali. Nah ini jenis fraud yang jenis kedua, orangnya ada, terapinya ada tapi digelembungin nilai klaimnya. Itu kita temukan tahun 2018," tutur Pahala.
Penipuan di layanan operasi katarak juga ditemukan KPK, BPJS, dan Kemenkes.
Pahala berujar, ada temuan rumah sakit yang membuat catatan pemberian operasi katarak kepada warga secara fiktif.
"Kita lihat juga (layanan operasi) katarak di tiga rumah sakit. 39 pasien kita sama, sebenarnya hanya 14 pasien yang patut dioperasi katarak, tapi diklaim lah semua dioperasi katarak.
Kami cek, kita bilang 'ini dioperasinya satu mata diklaimnya dua mata', kira-kira begitu waktu itu," ujar dia.
Kata Pahala, tim juga menemukan jenis penipuan yang dilakukan rumah sakit dengan membuat pasien fiktif untuk diberikan tindakan medis. Penipuan itu dikenal dengan istilah phantom biling.
"Enggak ada apa-apa, pasien enggak ada, terapinya ada tapi dokumennya semua dibikin sedemikian sehingga seakan-akan dia mengklaim untuk orang yang ada dengan terapi segala macam.
Itu yang kita bilang phantom billing," katanya.
Hasil penelusuran KPK kemudian menemukan adanya tiga rumah sakit yang melakukan phantom billing.
Tiga rumah sakit itu berada di Jawa Tengah dan dua di Sumatra Utara.
"Ada tiga rumah sakit yang phantom billing saja. Tiga ini melakukan phantom billing artinya mereka merekayasa semua dokumen. Yang satu ada di Jateng sekitar Rp29 miliar klaimnya, yang dua ada di Sumut itu ada Rp4 miliar dan Rp1 miliar itu hasil audit atas klaim dri BPJS Kesehatan," kata Pahala.
Pahala mengatakan perbuatan tiga rumah sakit itu telah mengakibatkan kerugian negara. Temuan itu telah dipaparkan ke pimpinan KPK dan akan diusut.
"Hasilnya pimpinan memutuskan kalau yang tiga ini dipindahkan ke penindakan. Nanti urusan siapa yang ambil apakah kejaksaan yang lidik atau KPK itu nanti diurus sama pimpinan KPK," kata Pahala.