TRIBUNNEWS.COM - Inspektur Jenderal Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Murti Utami, menyebut izin praktik dokter dan rumah sakit bisa dicabut apabila ketahuan mengajukan phantom billing (klaim fiktif) kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Hal ini disampaikan Kemenkes dalam merespons adanya temuan sejumlah rumah sakit yang melakukan klaim fiktif.
"Tidak saja faskes-nya, tetapi individunya juga akan dikenakan sanksi," tutur Murti Utami dalam diskusi "Pencegahan dan Penanganan Fraud JKN" di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Rabu (24/7/2024).
Menurutnya, Kemenkes sudah memiliki sistem informasi sumber daya manusia (SDM) Kesehatan dan itu terdata dengan baik.
Data itu, meliputi identitas tenaga kerja, tempat kerja mereka, nomor induk kepegawaian (NIK), hingga surat izin praktik (SIP) yang mereka miliki.
"Di Kemenkes, kami sudah memiliki sistem informasi SDM kesehatan. Jadi, siapa kerja di mana, ya, dan NIP-nya. Kemudian SIP-nya gitu itu sudah terdata dengan baik dan di dalam sistem itu kami menambahkan rekam jejak," ucapnya.
Oleh sebab itu, jika ada tenaga kesehatan yang terbukti menjadi pelaku phantom billing, rekam jejak itu akan dimasukkan ke dalam data tersebut dan Kemenkes akan menyiapkan sanksi.
Langkah yang ditempuh ialah membekukan Satuan Kredit Profesi Dokter (SKP) Dokter yang bersangkutan.
Adapun dalam satu tahun mereka harus mengumpulkan 50 kredit dalam setahun. Jika dibekukan, mereka akan kesulitan mengumpulkan poin kredit.
Kemudian, sanksi cukup berat juga dipersiapkan, yakni pencabutan izin praktik bagi mereka yang terbukti menjadi pelaku phantom billing.
"Jadi, salah satu langkah, ya, kita akan memberikan sanksi mulai dari apa penghentian untuk pengumpulan SKP kan itu kredit seorang dokter kan harus untuk menjaga kompetensinya harus mencari kredit point, ya," terang Murti Utami.
Baca juga: KPK Sebut Pelaku Klaim Fiktif ke BPJS Komplotan, Dokter hingga Pemilik RS Diduga Terlibat
"Nah, itu biasanya 1 tahun tuh 50 kredit gitu. Ini kalau 6 bulan kita bekukan untuk tidak bisa tidak diakui pengumpulan itu mungkin tidak bisa terpenuhi kan itu susah juga buat mereka, ya, gitu."
"Nah, sampai yang cukup berat adalah pencabutan izin praktik dari pelaku tersebut," ungkapnya.
Pada acara yang sama, KPK mengungkap ada kecurangan atau fraud pada layanan kesehatan yang terjadi di tiga rumah sakit.
Tiga rumah sakit yang tidak diungkap identitasnya ini disinyalir melakukan penipuan serta penggelembungan klaim.
Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK, Pahala Nainggolan, mengatakan kecurangan di layanan kesehatan ini bermula ketika KPK bersama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melakukan studi banding ke Amerika Serikat pada 2017.
Kala itu tim yang berangkat membandingkan kecurangan yang terjadi di layanan Obama Care.
"Waktu itu 2017 tim dari KPK, BPJS dan Kemenkes kita lihat bagaimana penanganan fraud di Obama Care jadi kita ke Amerika bareng dan kita lihat FBI bilang ternyata 3-10 persen klaim itu pasti ada fraud-nya di Amerika dan mereka keras kalau ada fraud dibawa ke pidana," ucap Pahala.
KPK lalu melakukan pengawasan ke enam rumah sakit yang berada di tiga provinsi.
Secara khusus, KPK melihat layanan kesehatan fisioterapi dan operasi katarak untuk periode Juli 2017–Juni 2018.
Pahala mengungkapkan, tim KPK menemukan tiga rumah sakit yang melakukan praktik penipuan terkait catatan medis layanan fisioterapi.
Ia menyebut, ada perbedaan jumlah layanan yang telah diberikan dengan jumlah klaim.
"Ternyata di tiga rumah sakit ada tagihan klaim 4.341 kasus tapi sebenarnya ada 1.000 kasus di buku catatan medis. Jadi sekitar 3.000-an itu diklaim sebagai fisioterapi tapi sebenarnya enggak ada di catatan medis."
"Jadi kita bilang 3.269 ini sebenarnya fiktif yang kita bilang kategori dua, ini medical diagnose yang dibuat tidak benar," ujar Pahala.
Contohnya, lanjut Pahala, rumah sakit memberikan layanan fisioterapi dua kali, tetapi diklaim 10 kali.
"Misalnya gini ditagihkan 10 kali fisioterapi tapi kalau kita tanya ke orangnya cuma dua kali. Nah ini jenis fraud yang jenis kedua, orangnya ada, terapinya ada tapi digelembungin nilai klaimnya. Itu kita temukan tahun 2018," tutur Pahala.
Penipuan di layanan operasi katarak juga ditemukan KPK, BPJS, dan Kemenkes.
Pahala berujar, ada temuan rumah sakit yang membuat catatan pemberian operasi katarak kepada warga secara fiktif.
"Kita lihat juga (layanan operasi) katarak di tiga rumah sakit. 39 pasien kita sama, sebenarnya hanya 14 pasien yang patut dioperasi katarak, tapi diklaim lah semua dioperasi katarak. Kami cek, kita bilang 'ini dioperasinya satu mata diklaimnya dua mata', kira-kira begitu waktu itu," ungkapnya.
Baca juga: Temuan KPK soal 3 RS Klaim Fiktif BPJS: Terjadi di Jateng-Sumut, Ada Modus Manipulasi Diagnosis
Pahala menyatakan, tim juga menemukan jenis penipuan yang dilakukan rumah sakit dengan membuat pasien fiktif untuk diberikan tindakan medis. Penipuan itu dikenal dengan istilah phantom biling.
"Enggak ada apa-apa, pasien enggak ada, terapinya ada tapi dokumennya semua dibikin sedemikian sehingga seakan-akan dia mengeklaim untuk orang yang ada dengan terapi segala macam. Itu yang kita bilang phantom billing," ujarnya.
Hasil penelusuran KPK kemudian menemukan adanya tiga rumah sakit yang melakukan phantom billing.
Tiga rumah sakit itu berada di Jawa Tengah dan dua di Sumatra Utara.
"Ada tiga rumah sakit yang phantom billing saja. Tiga ini melakukan phantom billing artinya mereka merekayasa semua dokumen. Yang satu ada di Jateng sekitar Rp29 miliar klaimnya, yang dua ada di Sumut itu ada Rp4 miliar dan Rp1 miliar itu hasil audit atas klaim dri BPJS Kesehatan," kata Pahala.
Pahala mengatakan, perbuatan tiga rumah sakit itu telah mengakibatkan kerugian negara. Temuan itu telah dipaparkan ke pimpinan KPK dan akan diusut.
"Hasilnya pimpinan memutuskan kalau yang tiga ini dipindahkan ke penindakan. Nanti urusan siapa yang ambil apakah kejaksaan yang lidik atau KPK itu nanti diurus sama pimpinan KPK," ucap Pahala.
(Tribunnews.com/Deni/Ilham)