TRIBUNNEWS.COM - Anggota Dewan Pakar Partai Golkar, Ridwan Hisjam, tidak kaget ketika Airlangga Hartarto mundur menjadi Ketua Umum partai berlambang beringin tersebut.
Dia mengungkapkan Airlangga seharusnya mundur sejak tahun lalu.
Sekedar informasi, desakan agar Airlanga mundur juga sempat bergulir pada Juli 2023 lalu ketika dipanggil Kejaksaan Agung (Kejagung) sebagai saksi terkait kasus dugaan korupsi minyak goreng.
Desakan itu juga muncul lantaran Menteri Koordinator Bidang Perekonomian itu tidak melaksanakan keputusan Musyawarah Nasional (Munas) Golkar agar mencalonkan diri sebagai capres di Pilpres 2024.
"Nggak (tidak kaget Airlangga mundur). Wes wayahe (sudah saatnya). Setahun lalu (harusnya mundur), ket mbiyen mustine (dari dulu seharusnya), kok saiki (kok baru sekarang)," katanya dalam wawancara eksklusif yang ditayangkan di YouTube Tribunnews, dikutip pada Selasa (13/8/2024).
Ridwan mengungkapkan ada satu alasan dirinya tidak kaget ketika Airlangga menyatakan mundur, yakni karena yang bersangkutan tidak menerapkan paradigma baru yang telah menjadi ketetapan Partai Golkar.
Menurutnya, paradigma Partai Golkar itu tidak seluruhnya diterapkan oleh Airlangga ketika menjabat sebagai ketua umum.
"Kenapa saya tidak terkejut? Karena ada satu kuncinya, yaitu paradigma Golkar yang baru tadi itu, jangan separuh-separuh (dilaksanakan). Kalau wani, wanio (kalau berani, beranilah)," ujar Ridwan.
Ridwan pun membandingkan kepemimpinan Airlangga dan Akbar Tandjung ketika menjabat sebagai Ketua Umum Golkar.
Menurutnya, Airlangga adalah tipe pemimpin yang tidak mengambil risiko, sedangkan Akbar Tandjung sebaliknya.
Dia lantas mencontohkan ketika Partai Golkar moncer di Pemilu 2004 meski pemimpinnya saat itu harus ditahan di Kejagung karena skandal Buloggate dan berujung bebas lantaran tidak terbukti.
Baca juga: Mundurnya Airlangga dari Ketua Umum Golkar Dinilai Sulit Dinalar, Begini Analisa Pengamat
"Akbar Tandjung berani terus, sampai detik terakhir berani. Menang Golkar (Pemilu) 2004. Risikonya dia harus masuk penjara."
"Jadi paradigma baru itu tidak boleh separuh-separuh (dilaksanakan). Kalau separuh-paruh, mbulet nang dheweke dewe (terkena diri sendiri)," urai Ridwan.
Di sisi lain, Ridwan tidak percaya alasan Airlangga mundur demi transisi pemerintahan dari era Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Presiden terpilih, Prabowo Subianto.