Jokowi, kata dia, juga tidak menyebutkan kegagalan-kegagalannya dalam memenuhi janji untuk memperkuat KPK karena yang terjadi menurutnya adalah pelemahan KPK.
"Dia tidak menjelaskan kegagalan dia, kesalahan dia, dalam menyelesaikan pelanggaran berat hak asasi manusia di masa lalu yang ia janjikan berkali-kali," kata Usman.
"Jadi pidato yang hari ini kita dengarkan, pidato yang kosong karena tidak ada pengakuan atas kegagalan atau kelemahan sekalipun yang pernah ia janjikan untuk dipenuhi," sambung dia.
Usman juga mengungkit sejumlah peristiwa di mana seharusnya Jokowi meminta maaf.
Peristiwa tersebut, kata dia, di antaranya adalah tewasnya 16 pekerja saat kebakaran tungku smelter di PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel (ITSS) yang berada di kawasan PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) pada Desember 2023 lalu.
"Jadi saya kira meminta maaf itu kan mengandaikan ada subyek yang katakanlah dimaafkan. Dan subyek yang dimaafkan itu hanya bisa diketahui kalau ada kesalahan yang diidentifikasi dan diakui, baru ia minta maaf," kata dia.
"Dan saya kira seluruh yang tadi saya uraikan tentang indeks demokrasi yang merosot, indeks kebebasan berpendapat yang merosot, indeks rule of law yang juga merosot, indeks persepsi korupsi yang merosot, itu seluruhnya adalah realitas yang seharusnya ia akui kalau ia benar-benar seorang negarawan," sambung dia.
Padahal menurutnya Jokowi punya pilihan lain.
Menurutnya, dalam pidatonya Jokowi bisa menjelaskan bahwa Indonesia memang mengalami regresi demokrasi, tapi bukan satu-satunya di dunia.
Karena menurutnya, memang banyak juga negara mengalami regresi demokrasi.
"Tapi itu tidak dia lakukan. Dan hal yang paling fundamental dalam sudut pandang hak asasi manusia adalah memberikan keadilan untuk para korban dan keluarga korban, dan itu tidak dia lakukan," kata dia.
Usman juga mencatat, pembangunan di masa pemerintahan Jokowi yang diklaim sebagai pembangunan yang berhasil lebih mencerminkan keberhasilan yang semu.
Hal tersebut, kata dia, karena seluruh agenda pembangunan yang diutamakan oleh Jokowi misalnya terkait proyek strategis nasional atau pembangunan Ibu Kota Negara lebih bersifat elitis.
"Bukan pembangunan yang benar-benar berangkat dari kepentingan masyarakat," kata dia.