News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Kisah Petugas Imigrasi di Pulau Terluar: Hidup Jauh dari Anak Istri, Mau Pulang Mahal di Ongkos

Penulis: Dodi Esvandi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Suasana kantor Imigrasi Kelas II Ranai di Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau, Kamis (29/8/2024)

TRIBUNNEWS.COM, RANAI - Menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) atau Pegawai Negeri Sipil (PNS) mungkin menjadi impian sebagian besar masyarakat Indonesia, selain menjadi anggota TNI atau Polri.

Jaminan gaji tetap setiap bulan hingga jaminan hari tua menjadi salah satu alasan mengapa setiap ada tes penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) selalu membludak dengan para pelamar.

Lantas apakah benar menjadi PNS selalu enak? Sepertinya tidak.

Setiap pekerjaan memang selalu ada risikonya.

Begitu pula pekerjaan sebagai PNS.

Ada satu klausul yang wajib dipatuhi oleh semua PNS.

Seperti prajurit TNI dan polisi yang harus siap ditugaskan ke mana saja, PNS juga harus bersedia ditempatkan di mana saja di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau negara lain yang ditentukan oleh instansi pemerintah.

Maka, jika ingin tahu suka dukanya menjadi PNS, tanyakanlah kepada PNS yang bertugas di wilayah terpencil, wilayah perbatasan, atau pulau terluar di Indonesia.

Baca juga: Beda dengan Kota Lain, di Kantor Imigrasi Ranai Dalam 2 Hari Kadang tak Ada yang Bikin Paspor

Para pegawai di Kantor Imigrasi Kelas II Ranai, Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau mungkin salah satu yang bisa menceritakan itu.

Kasi Lalu Lintas Izin Tinggal Keimigrasian Kantor Imigrasi Kelas II Ranai, Tedy Wibisono (kanan) sedang memaparkan profil Kantor Imigrasi Kelas II Ranai

Tedy Wibisono satu di antaranya.

Sejak 2019 atau sudah lima tahun lamanya Tedy bertugas di Kantor Imigrasi Kelas II Ranai sebagai Kasi Lalu Lintas Izin Tinggal Keimigrasian.

Sebelumnya ia bertugas di Kantor Imigrasi Kelas II Batulicin, Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan.

Lima tahun di Ranai, banyak suka duka yang dirasakan Tedy.

Tapi ada satu hal paling berat yang ia rasakan, yakni hidup jauh dari keluarga, terutama anak dan istri.

Selama 5 tahun terakhir alumni Poltekim 2004 itu terpaksa meninggalkan anak dan istrinya di kampung halamannya di Bandung, Jawa Barat, lantaran tak memungkinkan baginya untuk membawa keluarga ke Ranai.

Tedy sebenarnya bisa saja memboyong keluarganya ke Ranai.

Apalagi, selama bertugas di Ranai ia disediakan rumah dinas yang berada tepat di samping Kantor Imigrasi Ranai.

Namun, ada satu pertimbangan penting yang memaksa Tedy terpaksa harus tinggal jauh dari anak dan istrinya.

"Salah satu pertimbangannya adalah kualitas sekolah di Ranai belum sebaik dan sebagus sekolah di Jakarta atau di Bandung," kata Tedy membuka obrolan di kantornya pada Kamis (29/8/2024) lalu.

Petugas Kantor Imigrasi (Kanim) Kelas II Ranai melakukan pemeriksaan dokumen keimigrasian terhadap 6 awak kapal ikan berbendera Hongkong yang memasuki wilayah perairan Indonesia. (Tribunnews.com/Dodi Esvandi)

Baca juga: Meski Belum Diresmikan, Petugas Imigrasi Ranai Sudah Siaga di PLBN Laut Serasan

Menurut data BPS, jumlah penduduk Ranai adalah 8.735 jiwa.

Dengan jumlah penduduk yang tak seberapa tersebut, tak banyak pula pilihan sekolah yang bagus dan berkualitas di kota dan pusat administrasi Kabupaten Natuna itu.

Selain fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan di Ranai juga belum sempurna.

Warga Ranai yang sakit parah biasanya akan dirujuk ke Batam.

Maka dengan berat hari, Tedy akhirnya harus melalui hari-harinya di Natuna dalam lima tahun terakhir jauh dari keluarga.

Untuk pulang sekali sebulan apalagi sekali seminggu pun berat bagi Tedy.

Bukan apa-apa, tapi ongkos atau harga tiket pesawat dari Natuna ke Jakarta atau Bandung tidak main-main, tak mampu dijangkau gaji pegawai negeri biasa.

Baca juga: Imigrasi Ranai Periksa Dokumen Keimigrasian 6 Awak Kapal Ikan Hongkong yang Masuk Wilayah Indonesia

Tak ada penerbangan langsung dari Ranai ke Jakarta.

Dari Bandara Raden Sadjad di Ranai hanya ada satu penerbangan setiap harinya ke Batam dengan menggunakan pesawat ATR.

Harga tiketnya sekali terbang sekitar Rp2,6 juta.

Kemudian dari Batam ke Jakarta harga tiket termurah adalah Rp1 juta.

Maka untuk pulang ke Jakarta atau Bandung, Tedy harus menghabiskan ongkos pesawat Rp3,6 juta.

Jika dikali dua atau pulang pergi, maka ia harus merogoh kocek Rp7,2 juta.

Memang ada transportasi yang lebih murah, yakni dengan menumpang kapal Pelni KM Bukit Raya.

Harga tiketnya lumayan ramah di kantong, yakni Rp400 ribu untuk sekali perjalanan.

Namun, waktu yang dibutuhkan untuk sekali perjalanan kapal laut adalah 3 hari.

Jadwal kapalnya pun tak setiap hari ada, hanya ada sekali 14 hari.

Proses pembuatan paspor di Kantor Imigrasi Kelas II Ranai di Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau. Tahun ini Kantor Imigrasi Ranai sudah menerbitkan sebanyak 1.070 paspor (Tribunnews.com/Dodi Esvandi)

Baca juga: Operasi Jagratara di Apartemen Kawasan Kelapa Gading, Petugas Imigrasi Amankan 8 WNA

Pada akhirnya, Tedy harus mengalah dengan keadaan.

Ia terpaksa hanya pulang pada momen penting dan waktu-waktu tertentu saja.

Lebaran misalnya.

"Kalau ada yang urgent tidak bisa pulang setiap saat," katanya.

"Yang paling sedih itu kalau misalnya istri atau anak sakit. Kita nggak bisa menjenguknya," ujar Tedy.

Saat pandemi Covid-19 Tedy sempat memboyong anak dan istrinya ke Natuna, karena saat itu anak sekolah semuanya belajar online.

Tapi pasca Covid-19 mereda, Tedy kembali memulangkan keluarganya ke Bandung.

Pengalaman yang lebih kurang sama dirasakan Abdul, pegawai di Kantor Imigrasi Kelas II Ranai.

Ia sudah hampir 6 tahun bertugas di Ranai.

Pertama kali ke Ranai, usia anak pertamanya masih beberapa bulan.

Kini anak pertamanya itu sudah masuk SD.

Abdul juga berasal dari Jawa Barat, yakni dari Kabupaten Sumedang.

Baca juga: Operasi Jagratara di Apartemen Kawasan Kelapa Gading, Petugas Imigrasi Amankan 8 WNA

Tak seperti Tedy, selama 6 tahun terakhir Abdul memang hidup tak jauh dari anak dan istrinya lantaran anaknya belum sekolah.

Namun, tetap saja ia tidak bisa pulang setiap saat menjenguk keluarga, terutama orang tuanya karena kendala ongkos yang mahal.

Sebagai pegawai pemerintah yang bertugas di wilayah terluar, para pegawai imigrasi ini berharap ada perhatian lebih dari masyarakat.

"Saat ini kamu hanya ada remunerasi. Mungkin perlu dipikirkan juga bentuk tunjangan lain, misalnya tunjangan petugas pulau terluar," kata Tedy

"Mudah-mudahan pemerintah memperhatikan kamu juga selain TNI dan Polri. Karena kita semua kan sama-sama aparat pemerintah yang bertugas di halaman terdepan menjaga kedaulatan negara," ujarnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini