Hanya saja pada saat menyampaikan kesaksiannya itu, Ali tak menyebutkan secara rinci siapa nama presiden yang ia maksud tersebut.
Dirinya hanya menjelaskan bahwa permintaan itu agar masyarakat yang menjadi penambang tidak dikejar oleh aparat keamanan jika nantinya berstatus legal. Namun, diketahui Presiden RI pada saat periode 2015-2018.
"Jadi ya itulah waktu itu bagaimana masyarakat yang ada di ada di sekitar-sekitar tambang yang ada IUP SPK kita itu dibina agar mereka tidak dikejar-kejar aparat," jelas Ali Syamsuri.
Ali menambahkan, bahwa pada umumnya masyarakat yang melakukan penambangan ilegal di wilayah IUP PT Timah itu bersifat nomaden.
Mereka kata Ali juga melakukan penambangan juga masih menggunakan mesin-mesin kecil tidak seperti penambang yang bergabung ke program IUJP.
"Itu yang sifatnya nomaden, masyarakat umum yang mereka menambang pakai mesin kecil. Kalau yang IUJP ini rata-rata menggunakan alat berat," pungkasnya.
Seperti diketahui dalam perkara ini Helena telah didakwa oleh Jaksa dengan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 56 ke-1 KUHP terkait dugaan korupsi.
Selain itu, dia juga didakwa tindak pidana pencucian uang (TPPU) terkait perbuatannya menyamarkan hasil tindak pidana korupsi, yakni Pasal 3 dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 56 ke-1 KUHP.
Baca juga: Buronan Tetian Wahyudi Pernah Telepon Eks Pejabat PT Timah, Tanya Soal Pemeriksaan di Kejaksaan
PKS Desak Jaksa Tipikor Minta Keterangan Presiden
Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto, meminta Jaksa Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat memanggil Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk dimintai keterangan terkait kasus korupsi PT. Timah yang merugikan negara Rp 300 triliun.
Mulyanto menilai jaksa harus berani mendalami fakta pengadilan berupa keterangan Ali Samsuri, yang merupakan saksi untuk terdakwa eks Direktur Utama PT Timah Tbk Mochtar Riza Pahlevi Tabrani dan kawan-kawan.
Ali mengatakan bahwa Jokowi memerintahkan pimpinan PT. Timah menerima timah penambang ilegal untuk meningkatkan produksi.
Nahasnya, timah yang di beli merupakan hasil penambangan ilegal di kawasan milik PT. Timah sendiri. Alhasil terjadi korupsi ratusan triliun.
"Klarifikasi ini penting agar fakta persidangan menjadi terang-benderang. Karena dalam persidangan tersebut secara tegas dinyatakan oleh saksi yang mantan Kepala Unit Produksi PT Timah Tbk Wilayah Bangka Belitung, bahwa Presiden Jokowi minta tolong bagaimana caranya agar tambang timah yang ilegal ini diubah menjadi legal," kata Mulyanto dalam keterangannya Kamis (12/9/2024).
"Akibatnya, dalam praktiknya, PT Timah memberi kesempatan pada mitra pemilik Izin Usaha Jasa Pertambangan (IUJP) membeli bijih timah dari penambang ilegal. Padahal, bijih timah tersebut diambil dari wilayah izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah," lanjut Mulyanto.
Wakil Ketua Fraksi PKS ini menegaskan, keterangan tersebut merupakan titik krusial dari kasus korupsi timah sebesar Rp 300 triliun yang sudah menjadikan tersangka sebanyak 22 orang.
Sebab itu pengadilan harus memanggil Jokowi untuk mengungkap fakta yang sebenarnya.
Sejauh ini, terdapat 22 orang yang ditetapkan sebagai tersangka, termasuk suami aktris Sandra Dewi, Harvey Moeis.