TRIBUNNEWS.COM - Kasus tewasnya dr Aulia Risma Lestari, mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro (Undip) memasuki babak baru.
Pihak Undip dan RSUP Kariadi Semarang akhirnya mengakui adanya perundungan atau bullying di lingkungan PPDS.
Aksi bullying di PPDS Anestesi Undip bahkan disebut sudah berjalan secara sistematik dan kultural.
Perundungan Fisik
Dekan FK Undip, dr Yan Wisnu Prajoko menyebut ada berbagai bentuk perundungan yang terjadi di PPDS Anestesi Undip.
Perundungan itu terjadi secara fisik, sistem jam kerja, hingga kewajiban iuran.
Kendati demikian, Yan menyebut perundungan secara fisik tidak terlalu banyak terjadi di lingkungan tersebut.
"Kalau (perundungan) fisik, tidak terlalu (banyak). Lebih banyak terkait perundungan jam kerja dan iuran," kata Yan, dikutip dari TribunJateng.com.
Sementara untuk perundungan lewat beban jam kerja, terjadi karena bagian anestesi melekat pada semua layanan operasi rumah sakit.
Mahasiswa PPDS Anestesi yang tengah menjalani masa residen tidak hanya melayani bagian ICU, melainkan juga melayani titik-titik lain.
"Semestinya, kalau beban kerja besar dengan SDM-nya juga besar maka potensi (kerja overtime) seperti ini tidak muncul," jelasnya.
Baca juga: Komisi IX DPR: Kasus Perundungan di PPDS Anestesi Jadi Tanggung Jawab Kemenkes dan Undip
Kewajiban Iuran hingga Puluhan Juta
Selain itu, menurut Yan, mahasiswa PPDS Undip juga diwajibkan membayar iuran Rp 20 hingga 40 juta.
Uang tersebut harus disetorkan setiap bulannya sejak semester 1.
Ia menyebut, iuran tersebut dibayarkan setiap bulan selama 6 bulan berturut-turut dan biasanya digunakan untuk berbagai keperluan.
"Uang digunakan untuk nyanyi, main sepakbola, bulutangkis, sewa mobil, sewa kos dan makan."