Laporan Wartawan Tribunnews.com Rahmat W Nugraha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Kepala Peleburan dan Pemurnian PT Timah Kopdi Saragih mengatakan angka kerja sama PT Timah dengan perusahaan smelter bukan berdasarkan hasil diskusi, melainkan keputusan dari direksi PT Timah.
Adapun hal itu disampaikan Kopdi dalam sidang lanjutan dugaan korupsi tata niaga komoditas timah di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (19/9/2024).
Kopdi bersaksi untuk terdakwa pemilik CV Venus Inti Perkasa (VIP) Tamron alian Aon, Direktur Utama CV VIP Hasan Tjhie, Manajer Operasional CV VIP Achmad Albani, dan Eks Komisaris CV VIP Kwang Yung alias Buyung.
Mulanya Jaksa Penuntut Umum (JPU) di persidangan menanyakan tugas Kopdi di PT Timah.
Kopdi menjelaskan ia bertugas melakukan pengolahan bijih timah jika bijih timah belum memenuhi spesifikasi peleburan.
Baca juga: Sidang Kasus Timah Bos Smelter CV VIP Tamron Dkk, Jaksa Hadirkan 3 Saksi di Persidangan
Ia pun bertugas melebur dan memurnikan bijih timah menjadi logam.
Kemudian JPU menanyakan terkait cara PT Timah mendapatkan bijih timah.
“Untuk bijih timah yang dilakukan di divisi saya, saya tidak mengetahui asal usulnya. Bagaimana cara mendapatkannya, tetapi saya hanya mengetahui bijih timah tersebut dibawa oleh unit pertambangan ke tempat saya. Contoh Bangka Selatan ada kode tambangnya. Apakah metode seperti apa saya tidak mengetahui,” jelas Kopdi di persidangan.
Baca juga: Produks PT Timah Pernah Melonjak Hampir 2 Kali Lipat Saat Kerjasama dengan 5 Smelter Swasta
JPU lalu menanyakan terkait kerja sama antara PT Timah dengan 5 smelter.
“Pada bulan Agustus 2018 dari divisi P2P datang ke tempat saya untuk berdiskusi ada rencana untuk kerja sama smelter pada hari itu kita tidak mengetahui urgensinya. Namun dikarenakan ini adalah arahan kita berdiskusi tapi tidak ada target,” kata Kopdi.
"Lalu pada tanggal 13 September 2018 kita diundang kembali, tetapi biaya kerja samanya sudah ditetapkan direksi kepala divisi P2P saat itu,” terangnya.
Kemudian JPU menanyakan pembahasan dalam rapat tersebut.
“Rapat dimulai kepala divisi P2P menyampaikan 3.700 dan 4.700 sudah ditetapkan oleh direksi. Bukan hasil rapat,” kata Kopdi.
Adapun dalam perkara ini, perusahaan terdakwa dinilai mengakomodir penambangan timah ilegal di wilayah IUP PT Timah di Bangka Belitung.
Hasil penambangan yang dibeli dari penambangan ilegal di wilayah IUP PT Timah.
Kemudian dijual perusahaan terdakwa ke PT Timah seolah-olah ada kerja sama sewa menyewa alat peleburan.
Adapun harga yang ditetapkan penyewaan alat tersebut, terdapat kemahalan atau lebih tinggi dari pasaran, yakni USD 3.700 per ton.
Menurut jaksa, penetapan harga itu dilakukan tanpa studi kelayakan yang memadai.
Sebagai informasi, berdasarkan surat dakwaan jaksa penuntut umum, kerugian keuangan negara akibat pengelolaan timah dalam kasus ini mencapai Rp 300 triliun.
Perhitungan itu didasarkan pada Laporan hasil audit penghitungan kerugian keuangan negara di kasus timah yang tertuang dalam Nomor: PE.04.03/S-522/D5/03/2024 tertanggal 28 Mei.
Kerugian negara yang dimaksud jaksa, di antaranya meliputi kerugian atas kerja sama penyewaan alat hingga pembayaran bijih timah.
Tak hanya itu, jaksa juga mengungkapkan, kerugian negara yang mengakibatkan kerusakan lingkungan nilainya mencapai Rp 271 triliun. Hal itu sebagaimana hasil hitungan ahli lingkungan hidup.