Laporan wartawan Tribunnews.com, Fahdi Fahlevi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia memastikan akan menerima masukan terkait proses penyusunan kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) dan zonasi larangan penjualan dan iklan produk tembakau pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024.
Direktur Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan HAM, Roberia, menilai perlu aspirasi pihak yang terdampak dua aturan tersebut.
"Maka dari itu kami memastikan akan menampung masukan-masukan yang hadir di masyarakat agar regulasi-regulasi yang dibuat pemerintah dapat menjadi manfaat yang luas bagi semua pihak dan kalangan,” ujar Roberia melalui keterangan tertulis, Rabu (25/9/2024).
Roberia juga menyampaikan, bahwa perumusan PP 28/2024 membutuhkan waktu cukup lama karena banyaknya masukan dari pihak terdampak di industri hasil tembakau.
"Bukan soal cepatnya tapi apakah semua aspek terpenuhi? Untuk PP kesehatan, salah satunya ada ‘surat cinta’ dari stakeholder industri hasil tembakau,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Manajemen Industri Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Syaifullah Agam mengakui masih minimnya masukan publik yang ditampung dalam RPMK maupun PP 28/2024.
Menurutnya, kebijakan publik yang baik sejatinya menampung berbagai masukan, baik pro atau kontra untuk kemudian secara bersama-sama dicarikan solusi terbaik.
“Kami juga tidak dilibatkan (dalam perumusan aturan). Padahal penting untuk melibatkan semua pihak. Karena tujuan kebijakan ini bukan untuk membatasi, tapi untuk mendorong kesehatan masyarakat," tuturnya.
Syaiful juga menyoroti dampak yang akan terjadi jika kemasan rokok polos tanpa merek diberlakukan.
Hal ini dikhawatirkan bakal meningkatkan produk ilegal yang dapat dengan mudah membuat produk polosan tanpa merek.
Padahal bagi dia, brand merupakan citra suatu produk yang dibangun dengan nilai investasi tinggi.
“Saya heran kalau itu dibikin tidak boleh ada merek, berarti produk ilegal bisa jadi bikin polosan juga tanpa was-was. Padahal brand dibangunnya juga susah sekali, perlu biaya yang besar,” ungkapnya.
Pada kesempatan terpisah, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM) Kemenkes, Benget Saragih menuturkan bahwa RPMK serta PP 28/2024 tidak dimaksudkan untuk menyuruh orang berhenti merokok, melainkan menyasar anak-anak agar tidak merokok.
"Larangan peringatan merokok telah menjadi barrier, namun Indonesia kalah dalam hal ini. Sehingga pengendalian rokok anak yang jadi fokus kami,” tuturnya.
Kendati begitu, ia tidak menampik terjadinya minim partisipasi dalam penyusunan regulasi tersebut.
Dalam hal ini, Kemenkes tetap melanjutkan proses dua kebijakan penuh polemik itu, meskipun kerap menuai penolakan dari berbagai pihak termasuk sejumlah kementerian terkait.