Laporan Wartawan Tribunnews.com, Rahmat W Nugraha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kepala Divisi Keuangan PT Timah, Abdullah Umar Baswedan menjelaskan alasan mengapa PT Timah bisa merugi hingga Rp 611 miliar di tahun 2019.
Menurut Baswedan kerugian tersebut karena biaya produksi, harga logam dunia turun dan utang bank.
Baca juga: Kepala Divisi Keuangan Sebut PT Timah Tetap Kerja Sama dengan Smelter Meski Biaya Sewa Kemahalan
Hal itu disampaikan Baswedan pada persidangan dugaan korupsi tata niaga komoditas timah di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (3/10/2024).
Ia bersaksi untuk terdakwa pemilik smelter CV Venus Inti Perkasa (VIP) Tamron alian Aon, Direktur Utama CV VIP Hasan Tjhie, Manajer Operasional CV VIP Achmad Albani dan Eks Komisaris CV VIP Kwang Yung alias Buyunsalah.
"Kalau kita bicara konteks kerugian di tahun 2019. Kenapa kok bisa rugi padahal jumlah produksinya meningkat? 64.000 kalau nggak salah," tanya hakim Alfis Setyawan di persidangan.
"Produksi tertinggi 10 tahun terakhir kalau nggak salah. Produksinya rekor, tapi ruginya juga rekor," jawab Baswedan.
Mengapa rugi, tanya hakim Alfis. Sebab logika sederhanya menurut hakim, jika produksi meningkat banyak untung diperoleh.
Baca juga: Terungkap Smelter Swasta di Kasus Korupsi Timah Tukar Duit di Money Changer Sebanyak 136 Kali
"Tetapi kenapa saudara menyatakan tahun 2019 PT Timah rugi, apa sebabnya?" tanya hakim Alfis.
Baswedan menerangkan rugi tersebut karena harga logam dunia turun, jadi pada saat produksi naik, produksi tinggi tidak dikontrol biayanya.
Kemudian pada saat dijual harga logamnya turun.
"Apakah karena variable itu saja? Menyebabkan PT Timah rugi. Apakah tidak ada faktor lain," tanya hakim Alfis lagi.
"Kontribusinya sebetulnya, produksi naik, disitu ada juga kenaikan utang. Kenapa utang? Karena pada saat produksi biaya meningkat dua kali lipat," kata saksi Baswedan.
"Untuk proses pembayaran butuh biaya tambahan. Biaya tambahan itu biaya operasi bank. Biaya itu selain kita tidak penuhi dengan khas internal. Berarti kita harus narik dari fasilitas bank," lanjutnya.
Karena menurut Baswedan, PT Timah memiliki fasilitas bank untuk utang jangka pendek untuk operasional.
Adapun dalam perkara ini, perusahaan terdakwa dinilai mengakomodir penambangan timah ilegal di wilayah IUP PT Timah di Bangka Belitung.
Hasil penambangan yang dibeli dari penambangan ilegal di wilayah IUP PT Timah kemudian dijual oleh perusahaan terdakwa ke PT Timah seolah-olah ada kerja sama sewa menyewa alat peleburan.
Harga yang ditetapkan penyewaan alat tersebut, terdapat kemahalan atau lebih tinggi dari pasaran, yakni USD 3.700 per ton. Menurut jaksa, penetapan harga itu dilakukan tanpa studi kelayakan yang memadai.