Oleh : Patricia Leila Roose SH, SE, MH
Pemerhati sosial politik
TRIBUNNEWS.COM- Cita-cita didirikannya negara Kesatuan Republik Indonesia adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Intisari dari cita - cita kemerdekaan itu adalah lebih membangun kecerdasan dan keadilan sosial untuk rakyatnya daripada menokohkan dan mengistimewakan para pemimpinnya.
Spirit para pemimpin negeri ini untuk memakmurkan rakyat tersebut dan mencerdaskan bisa kita lihat dari upaya keras lewat perdebatan para elite untuk menentukan arah republik maupun kerja - kerja nyata berdasarkan pandangan ideologi yang dianut para pemimpin di awal kita membangun negara. Akan tetapi dari upaya para pemimpin tersebut juga menghasilkan konflik dan konfigurasi politik yang sering berujung pada pertikaian.
Baca juga: TAP MPR Nomor II/MPR/2001 Sudah Dicabut, Bamsoet Desak Segera Pulihkan Nama Baik Gus Dur
Salah satu pertikaian tersebut adalah dijatuhkannya Soekarno dari tampuk kepemimpinannya oleh kelompok- kelompok politik yang berseberangan dengan dirinya. Dalam percaturan di sidang MPRS, Soekarno dilengserkan dan diposisikan terlibat dalam keruhnya situasi politik pasca 1965 versi para lawan politik di MPRS.
Posisi TAP MPRS bersifat situasional hasil kompromi kelompok politik yang memenangkan kompetisi.
Order baru yang lahir dengan menampilkan Soeharto sebagai Presiden baru, membawa dinamika dan konfigurasi baru politik yang pada akhirnya lahir Reformasi dengan kejatuhan Soeharto yang salah satu produknya adalah lahirnya TAP MPR NO XI/MPR/1998 tentang perintah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang bersih serta bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
TAP ini maknanya kesepakatan politik dari unsur- unsur yang ada di MPR dalam memahami situasi dan kompromi politik yang ada pada saat itu.
Selanjutnya Abdurrahman Wahid sebagai presiden terpilih kelihatan membawa perubahan besar di negeri ini. Akan terapi dalam jangka pendek jatuh juga dalam sidang MPR tahun 2001. Lahir lagi TAP MPR yang melengserkan dirinya dari jabatan presiden beserta poin- poin yang muncul dalam TAP MPR tersebut.
Pemerintahan setelah Abdurrahman Wahid sampai hari ini yang mestinya harus membebaskan diri dari KKN, ternyata sulit membebaskan diri dari kebiasaan KKN yang bahkan mungkin lebih buruk dibanding zaman Orde Baru tersebut. Jumlah korupsi yang terungkap jauh lebih besar dibanding Orde Baru.
Bukan karena Orde Baru lebih bersih. Tetapi korupsi jaman Orde Baru bisa ditutupi dengan baik oleh aparat penegak hukum, serta memang aparat penegak hukumnya tidak bergigi seperti Orde Reformasi ini.
Kalau kita meminjam istilah yang pernah dipakai oleh Ignatius Wibowo tentang perbanditan dalam Negara, orde Baru disebut sebagai bandit menetap( stationary bandits) yang cara merampoknya lebih sistematis, terukur dan cara memainkannya secara bertahap. Hal ini terjadi karena masa berkuasanya terlalu lama.
Di era Reformasi cara menggarong harta rakyat dan negaranya secara lebih brutal dan apapun dirampoknya. Ini terjadi karena masa berkuasanya lebih pendek dibanding Orde Baru. Istilah yang tepat untuk menggambarkan situasi penyelenggara negara jaman ini dalam menguras harta rakyat dan negara sebagai Bandit berkeliaran ( Roving bandits).
Kondisi politik di akhir kekuasaan Presiden Joko Widodo yang penuh dengan protes ketidakpuasan rakyat dan kekhawatiran masa depan Indonesia, sangat menganggu kemapanan para elit. Kekhawatiran dan ketakutan para elit bisa dirasakan dalam dunia keseharian kita.
Dalam situasi seperti ini para elit terpaksa kompromi meskipun berseberangan secara politik. Tanpa kompromi para elit tersebut bisa tenggelam bersama- sama oleh gelombang ketidakpuasan rakyat dan terpuruknya ekonomi Indonesia saat ini.
Pencabutan TAP MPRS dan MPR yang terkait dengan Soekarno, Soeharto dan Abdurrahman Wahid sebenarnya bukanlah wajah Rekonsiliasi yang sedang terjadi di negeri ini, tetapi lebih pada kompromi untuk menyelamatkan diri dari para elit tersebut.
Persoalan mendasar kemiskinan, ketidakadilan, pelanggaran HAM berat, beban sejarah masa lalu yang belum selesai tidak pernah diurai dan dicari jalan keluarnya yang cermat, bijak untuk tujuan mencerdaskan dan menciptakan keadilan yang hakiki tapi lebih bertumpu pada menyenangkan, menjaga dan menghormati para elit secara tidak benar.
Inilah sebenarnya wajah baru politik dagang sapi yang sedang tumbuh dan berkembang kembali karena para elit sudah mempraktekkan KKN secara merata.
Jika kita mau melakukan refleksi dari tujuan bernegara yang nyata- nyata telah melenceng terlalu jauh, maka sudah waktunya untuk sadar dan bangkit meluruskan kembali dari tujuan bernegara tersebut.