Saat ini, kata Bahlil, pendapatan negara buntut hilirisasi nikel mencapai 34 miliar dolar AS dibanding pada tahun 2017 yang hanya 3,3 miliar dolar AS.
Namun, Bahlil juga memaparkan temuannya bahwa naiknya pendapatan negara berdampak kepada kesehatan masyarakat sekitar.
Dia menyebut kasus infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) di Morowali naik sebesar 54 persen.
Tak cuma itu, dampak hilirisasi juga menyasar ketersediaan air bersih bagi masyarakat.
"Kesehatan ISPA di Sulawesi Tengah, khususnya di Morowali 54 persen itu kena semua. Kemudian di Halmahera Tengah, itu jauh lebih baik."
"Dan air disana untuk air di Morowali, waduh itu minta ampun, tapi ini jauh lebih baik ketimbang di Halmahera Tengah," tuturnya.
Dia mengungkapkan dampak ekstrem yang dialami daerah ini berbanding terbalik dengan DBH yang diperoleh.
Bahlil menyebut pemerintah daerah hanya menerima DBH 1/6 dari total penerimaan buntut hilirisasi.
"Contoh di Halmahera Tengah, satu kawasan industri bisa menghasilkan Rp12,5 triliun. Tapi apa yang terjadi? Pemerintah pusat hanya membagikan kepada mereka kabupaten itu tidak lebih dari Rp1,1 triliun dan provinsi hanya Rp900 miliar," paparnya.
Selain terkait peningkatan DBH, Bahlil juga mengusulkan adanya pemisahan antara dana hasil minyak dan gas (migas) dengan hilirisasi.
Usulan ini berkaca dari temuannya bahwa hilirisasi jarang melibatkan masyarakat.
"Tetapi hilirisasi nikel itu sepanjang jalan, sepanjang masyarakat itu kena. Jadi antara pendapatan dan pemberian itu harus saya rasa fair," tuturnya.
Tetap Puji Jokowi
Kendati demikian, Bahlil tetap memuji kebijakan hilirisasi yang dilakukan oleh Jokowi meski menemukan berbagai masalah dalam penelitiannya.