Laporan wartawan Tribunnews.com, Fahdi Fahlevi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pakar kebijakan publik Trubus Rahadiansyah, menyarankan pemerintahan baru Prabowo-Gibran tidak mengadopsi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) pada Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan sebagai aturan turunan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan.
Ketua Umum Asosiasi Analis Kebijakan Indonesia (AAKI) ini menyatakan dampak dari Rancangan Permenkes yang mematok FCTC sebagai acuan perumusan aturannya akan menjadi beban tambahan bagi pemerintahan baru Prabowo-Gibran.
“Banyak aturan yang bertentangan dengan UU Kesehatan-nya sendiri. Padahal, PP (28/2024)-nya itu seharusnya tidak boleh keluar dan melebihi dari mandat UU Kesehatan, mestinya hanya bisa menerjemahkannya menjadi aturan teknis," kata Trubus melalui keterangan tertulis, Senin (21/10/2024).
"Selain itu, aturan turunan tersebut tidak boleh menambah klausul dan norma baru, yang mana di UU Kesehatan-nya sendiri tidak ada aturan tersebut,” tambah Trubus.
Dalam hal ini, Trubus mengatakan kebijakan ini tidak tepat untuk dijalankan pada industri tembakau yang berkontribusi besar terhadap serapan tenaga kerja dan perekonomian Indonesia.
Ia menyarakan agar pemerintahan baru untuk memberikan perlindungan terhadap keberlangsungan tenaga kerja di Indonesia terutama di tengah terjadinya deflasi di lima bulan beruntun.
“Seharusnya, pemeritah melakukan evaluasi menyeluruh terkait seluruh pengaturan industri tembakau. Industri ini perlu didukung untuk menyerap tenaga kerja yang besar guna menekan angka deflasi. Ini yang semestinya menjadi perhatian pemerintah, khususnya pemerintahan baru,” ucap Trubus.
Saat ini, industri tembakau telah dibebani oleh lebih dari 480 aturan yang mencakup aturan fiskal dan nonfiskal.
Banyak di antara aturan tersebut yang tidak memiliki pengawasan yang jelas atau implementasi yang mumpuni.
Hal ini menyebakan industri tembakau legal semakin tertekan dan justru membuat peredaran rokok ilegal semakin meningkat.