Terkait meningkatnya sikap agresif China di LCS, ketua Dewan Guru Besar UnHan RI itu menyatakan bahwa salah satu akar permasalahan yang muncul adalah ketidaktaatan China pada UNCLOS meskipun negara itu meratifikasi hukum laut internasional itu.
“UNCLOS 1982 merupakan pegangan bagi negara-negara anggota ASEAN (Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara), tetapi tidak menjadi pegangan bagi China,” papar Profesor Marsetyo.
Menurut Prof Marsetyo, situasi di LCS makin mengemuka setelah pemerintahan China pada tahun 2023 memperluas garis putus-putus berbentuk U yang sebelumnya dikenal dengan istilah sembilan garis putus-putus menjadi sepuluh garis putus-putus.
Menurut Profesor Marsetyo, berbekal sepuluh garis putus-putus tersebut, China mengakui sekitar 83 ribu km2 ZEE Indonesia sebagai ZEE China. “Wilayah seluas itu setara dengan dua setengah kali lipat pulau Bali,” pungkasnya.
Broto Wardoyo di diskusi ini memaparkan sikap asertif China yang cenderung mengalami peningkatan dari awal tahun 1970-an hingga tahun 2023 yang lalu.
Dia mempertanyakan alasan China mengambil sikap asertif.
“Bila kita menggunakan peribahasa ‘tak ada asap tanpa api,’ maka yang menjadi pertanyaan adalah, apakah tindakan asertif China itu asap atau api?,” tanyanya.
Broto berpendapat, sikap asertif China itu muncul ketika negara-negara lain mengklaim sesuatu yang secara tradisional mereka anggap sebagai milik mereka.
Menurut Broto, China merespons klaim negara-negara lain tersebut dengan melaksanakan pendudukan efektif (effective occupation) agar klaim kepemilikan China menjadi valid.
Dalam pandangan beliau, strategi pendudukan efektif inilah yang menjadi sumber bagi ketegangan yang timbul antara China dan negara-negara lain di kawasan.
Menurut dia, China cenderung menerapkan pendekatan dua sisi, antara lain pendekatan yang membuka ruang bagi kerja sama meski di tengah potensi terjadinya konflik.
Menurut Broto, kerja sama dengan China, yang merupakan salah satu mitra ekonomi terbesar Indonesia, patut untuk terus dipertimbangkan, namun dengan tidak mengkompromikan integritas kedaulatan.
“Indonesia harus memiliki kapasitas untuk membatasi China, untuk mengatakan tidak pada permintaan China yang tidak sejalan dengan kepentingan Indonesia,” tuturnya.
Soal klaim wilayah China terhadap ZEE Indonesia di perairan Natuna, Broto beranggapan bahwa Indonesia harus menolak untuk bernegosiasi dengan China, karena ZEE di perairan Natuna adalah milik Indonesia.