Laporan Wartawan Tribunnews.com, Abdi Ryanda Shakti
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Perkara mantan anggota Polda Nusa Tenggara Timur (NTT), Ipda Rudy Soik terus menjadi perbincangan.
Ipda Rudy Soik mendapat sanksi pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) atau dipecat dari institusi Polri setelah membongkar mafia BBM di wilayah NTT.
Polisi menyebut pemecatan Ipda Rudy Soik dilakukan karena melakukan pelanggaran kode etik.
Ketua Panitia Seleksi Anggota Kompolnas 2024 Hermawan Sulistyo mengungkapkan langkah Polda NTT itu sudah tepat karena memecat anggota yang bermasalah.
Dia mengatakan jika Ipda Rudy Soik punya catatan kriminal.
"Yang bersangkutaan punya catatan kriminal yang buruk. Dipanggil untuk sidang kasus BBM tidak mau datang. Kalau tidak merasa bersalah kan dia bisa membela diri di persidangan," kata Hermawan kepada dalam keterangannya, Selasa (22/10/2024).
Peneliti Senior Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) ini mengatakan sejatinya jika tak merasa bersalah, Ipda Rudy Soik bisa melawan putusan itu dengan mengajukan banding.
Baca juga: 9 Anggota Provos Sudah Turun, Polda NTT Batal Tangkap Ipda Rudy Soik di Rumahnya, Ini Alasannya
"Bawa penasihat hukum sendiri atau yang disediakan Polri. Kalau tidak puas ada mekanisme banding," ucapnya.
Terpisah, Direktur Lembaga Kajian Strategis Polri (LEMKAPI) Edi Hasibuan menyebut langkah Polda NTT merekomendasikan PTDH kepada Ipda Rudy pasti mempunyai alasan kuat dan indikasi penyimpangan.
"Kami berpandangan, Polda berani memberikan putusan karena sudah melalui proses yang panjang dan lalu menetapkan PTDH," ucap panitia Seleksi Anggota Kompolnas 2024 itu.
Sama dengan Hermawan, Edi pun meminta, Ipda Rudy Soik mengajukan banding atas putusan komisi sidang etik Polda NTT yang sudah menetapkan pemecatan jika tak merasa bersalah.
Baca juga: 12 Kasus Pelanggaran Ipda Rudy Soik, Polda NTT: Tidak Layak Dipertahankan sebagai Anggota Polri
"Kinerja Soik mungkin selama ini banyak berantas BBM ilegal. Tapi semua harus mengikuti prosedur yang ada. Tentu hal ini yang harus kita tanyakan kepada Polda NTT. Apakah SOP sudah dilakukan dengan benar. Polisi tidak boleh salah dalam melakukan tindakan hukum," tuturnya.
Sementara itu, anggota Kompolnas periode 2020-2024, Yusuf Warsyim meminta kepada Polda NTT dapat merespons dan menerima banding Ipda Rudy Soik atas putusan sidang kode etik jika diajukan.
"Kompolnas akan memantau proses banding nantinya. Tentu proses sidang banding tetap harus profesional, transparan dan akuntabel. Terkait materi dugaan pelanggaran biar diperiksa kembali apabila dilakukan banding," tuturnya.
Dipecat Diduga Ungkap Mafia BBM
Sebelumnya, Ipda Rudy Soik dijatuhi sanksi pemecatan atau pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) sebagai anggota Polda NTT.
Sidang PTDH Rudy Soik digelar di ruangan Direktorat Tahti Lantai II Polda NTT dilaksanakan sidang Komisi Kode Etik Polri, Jumat (11/10/2024).
Isu yang berkembang, Ipda Rudy Soik dipecat lantaran mengungkap perkara mafia bahan bakar minyak (BBM).
Meski begitu, Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda NTT Kombes Pol Ariasandy mengatakan alasan Rudy Soik dipecat.
Rudy Soik dinilai melanggar kode etik profesi Polri berupa ketidakprofesionalan dalam penyelidikan dugaan penyalahgunaan bahan bakar minyak (BBM) dengan cara memasang garis polisi di lokasi milik Ahmad Anshar dan Algajali Munandar di Kelurahan Alak dan Kelurahan Fatukoa.
Rudy dianggap melanggar Pasal 13 ayat 1, Pasal 14 (1) huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Polri junto Pasal 5 Ayat (1) huruf b,c dan Pasal 10 Ayat (1) huruf (a) angka (1) dan huruf d Perpol 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi Polri dan Komisi Kode Etik Polri.
Selain itu, Ipda Rudy sebelumya dituduh selingkuh saat menyelidiki lokasi penimbunan BBM ilegal milik Ahmad, warga Kecamatan Alak, Kota Kupang.
Ipda Rudy saat itu menjabat sebagai KBO Reskrim Polresta Kupang.
Namun Ipda Rudy mengatakan tuduhan itu tidak berdasar.
Setelah Ipda Rudy dan anggotanya menyelidiki lokasi penimbunan BBM ilegal milik Ahmad, mereka kembali ke Restoran Master Piece, Kota Kupang, untuk makan siang.
Di tempat itu pula mereka melaksanakan analisis dan evaluasi (Anev).
"Jarak Master Piece dengan Markas Polda NTT hanya sekitar 100 meter, dan tempat itu kerap digunakan oleh ibu-ibu Bhayangkari untuk acara makan," ungkap Rudy sambil memperlihatkan rekaman CCTV dan izin restoran.
Rudy merasa Ariasandy membangun narasi seolah-olah ada perselingkuhan antara para anggota tim Reserse dan Kriminal Polresta Kupang.
"Padahal kegiatan makan siang di Master Piece itu diketahui oleh Kapolresta Kupang Kombes Pol Aldian Manurung," kata Rudy.
Aldinan Manurung juga membantah tuduhan perselingkuhan dalam jumpa pers yang digelarnya bersama sejumlah wartawan pada Kamis (4/7/2024) lalu.
"Isu yang menyebutkan ada perselingkuhan itu adalah tidak benar. Saat itu anggota saya, berdasarkan surat perintah, tengah melakukan operasi dugaan mafia BBM ilegal di wilayah Kota Kupang," kata Aldinan.
Rudy juga menyoroti sejumlah fakta dalam kasus BBM ilegal.
Ditemukan bahwa Ahmad, pelaku penimbunan, memiliki kedekatan dengan anggota Paminal Propam Polda NTT.
Dia bahkan, kata Rudy, pernah memberikan suap senilai Rp 30 juta kepada oknum Shabara Polda NTT.
"Anehnya, oknum anggota Shabara yang diproses disiplin, tetapi Ahmad tidak diproses pidana," ungkap Rudy.
Rudy menegaskan, pemasangan police line di tempat penampungan BBM ilegal adalah bagian dari rangkaian penyelidikan.
Kini, ia mempertanyakan mengapa dirinya dijadikan alasan pemberatan untuk dimutasi ke Papua, padahal tindakan tersebut dilakukan atas perintah atasan.
"Dalam pelaksanaan tugas ini bukan maunya saya, tetapi atas perintah atasan. Tapi kok kenapa saya yang disalahkan?" tanya Rudy.
Rudy merasa bahwa tindakan pemutasian dirinya ke Papua terkesan diskriminatif dan menyelamatkan NTT dari mafia BBM serta perdagangan orang.
"Kok ini dijadikan alasan pemberatan untuk saya dimutasi ke daerah operasi militer Papua atau Polda Papua?" ucap Rudy.